REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Perbedaan hasil hitung cepat dan ketatnya jumlah pendukung kedua pasangan Capres dan Cawapres pada Pilpres kemarin menimbulkan polemik. Sebagian survei menunjukkan bahwa pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla unggul dalam perolehan suara. Sementara survei lain menunjukkan hasil berbeda dengan mengunggulkan pasangan Prabowo dan Hatta Rajasa.
Rata-rata tingkat keunggulan yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga survei itu tidak lebih dari 5 per sen. Hal ini membuat kedua pihak percaya diri dan menyatakan kemenangan mereka bahkan sebelum pernyataan hasil resmi dari KPU.
"Ini soal menjaga semangat tim pemenangan di kedua pihak sekaligus menunjukkan ada ketidakrelaan di kedua calon dan Timses untuk mengakui kekalahan," kata Muradi, Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan, FISIP Unpad, ketika dihubungi Republika, Selasa (10/7).
Muradi menilai kelakuan ini sangat tidak baik, khususnya bagi masyarakat yang menyaksikan. Masyarakat dilihatnya akan terjebak dalam dilema jika termakan klaim dini itu. Tidak menutup kemungkinan hal itu merupakan ancaman dari kondusifitas yang sebelumnya terjaga.
Adu klaim kemenangan itu bisa dengan mudah menyulut emosi pendukung. Hal ini sangat mungkin mengarah pada potensi mencurangi perhitungan suara untuk memenangkan salah satu calon. Manipulasi hasil perolehan suara sangat mudah dilakukan mengingat banyak kasus terjadi pada Pileg lalu. "Kita tahu lah Pileg 2014 itu sebagai yang terburuk," katanya.
Ia pun mengimbau kepada seluruh masyarakat agar tidak bertumpu pada hasil perhitungan cepat. Terutama tidak begitu saja percaya pada klaim yang dikeluarkan pihak manapun sebelum hasil resmi dari KPU.
Menurutnya, potensi kericuhan masyarakat paling mungkin terjadi di wilayah plosok. Akses informasi yang diterima masyarakat di sana biasanya lebih sulit dibanding di wilayah perkotaan. "Pesta demokrasi sudah selesai, jangan terjebak," tegasnya.