Kameraman mengabadikan hasil survei tentang elektabilitas capres di lima kantong suara terbesar yang diselenggarakan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) di Jakarta, Jumat (30/5).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia, Mudzakkir, mengatakan sebuah lembaga survei seharusnya menyelenggarakan kegiatan penelitian ilmiah yang memiliki sifat objektif, metodik, sistematik, dan universal. Jika pun survei tersebut terikat kontrak dengan lembaga lain, maka sifat ilmiahnya harus dijaga.
"Karena reputasi akademik sebagai lembaga ilmiah menjadi taruhannya. Lembaga survei perlu menjelaskan metode dan margin erornya atau tingkat akurasi hasilnya. Lembaga survei wajib menjelaskan kepada usernya dan risiko yang terjadi jika dipergunakan," papar Mudzakkir dalam keterangan pers yang diterima ROL, kemarin.
Lebih lanjut, Mudzakkir menuturkan pada prinsipnya perbedaan hasil antar lembaga survei itu sangat mungkin karena merupakan riset sosial. Namun ia mengingatkan derajat perbedaan akan mempengaruhi tingkat akurasi antara lembaga survei yang satu dengan lainnya.
"Jika tingkat akurasi rendah, berarti tingkat kepercayaan hasil juga rendah. Hasil lembaga survei untuk konsumsi publik. KPU harus melakukan evaluasi. Bagi lembaga survei yang tidak kredibel, sebaiknya tidak diizinkan quick count pemilu agar masyarakat tidak memperoleh informasi yang sesat," jelasnya.
Mudzakkir kembali menegaskan, KPU memiliki kewajiban untuk menjelaskan kepada masyarakat serta memanggil dan menegur calon yang mengumumkan sebagai pemenang Pilpres karena telah melanggar azas-azas penyelengaraan Pemilu. "KPU sebaiknya mengaturnya dalam peraturan KPU tentang hasil quick count," tukasnya.