Home >> >>
Sampaikan Protes, Saksi Asal Papua Malah Ditertawakan di Sidang MK
Selasa , 12 Aug 2014, 11:46 WIB
Republika/Agung Supriyanto
Tim kuasa hukum Prabowo-Hatta mendaftarkan gugatan sengketa Pilpres 2014 di MK Jumat (25/7) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saksi pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa Novela Nawita membuat jalannya sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden/Wakil Presiden di Mahkamah Konstitusi (MK) lebih berwarna, Selasa (12/8). Cara dan gaya saksi pasangan nomor urut 1 di tingkat TPS Kampung Awabutu, Distrik Paniai Timur, Kabupaten Paniai itu mengundang tawa.

Ketua majelis hakim konstitusi Hamdan Zoelva mengawali pemeriksaan saksi dengan bertanya kapan pemungutan suara di Kampung Awabutu. Novela mengatakan, pada 9 Juli 2014. Sama seperti pemilu di tempat lain. Hamdan kemudian bertanya waktu penyelenggaraan pemilu itu. "Tidak ada jam berapa sampai jam berapa karena aktivitas pemilu di kampung saya tidak ada," ujar Novela.

Mendengar jawaban itu, Hamdan kembali pada pertanyaan pertama. Ia menyebut semula saksi menyatakan pemungutan suara pada 9 Juli. Novela memberikan penjelasan. "Tidak ada. Bagaimana pemungutan suara mau ada, kalau bilik suara dan sebagainya tidak ada. Aktivitasnya tidak ada," kata dia.

Novela pun menyebut tidak ada petugas KPPS di kampungnya. Hamdan kembali bertanya mengenai maksud pemungutan suara yang disebut Novela. "Ya tidak tahu, itu di tempat lain (9 Juli). Di kampung kami tidak ada. Karena saya bicara di kampung saya, Kampung Awabutu," kata dia dengan cepat. Jawaban itu pun mengundang tawa.

Saat 9 Juli, Novela mengatakan, ada di Kampung Awabutu. Ia mengatakan, tidak melihat adanya Tempat Pemungutan Suara (TPS) di kampungnya. Ia meyakinkan tidak adanya TPS di sana. Saat ditanya mengenai keberadaan saksi dari pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, ia pun mengaku tidak tahu. "Saya tidak tahu saksi-saksi yang lain ada atau tidak. Tapi saya sebagai saksi mandat ada," kata dia.

Hamdan mencoba mengorek keterangan lain dari Novela tentang adanya petugas atau penyelenggara pemilu pada 9 Juli. Hamdan mengatakan, "Yang lain-lain, tidak ada orang?" Novela heran dengan pertanyaan itu. "Maksudnya? Ini Kampung Awabutu. Di kampung pasti ada orang. Saya sebagai saksi mandat ada," ujar dia.

Kemudian Hamdan menjelaskan maksud dari pertanyaannya. Novela mengatakan, memang ada orang lain. Namun, ia mengatakan, tidak ada aktivitas pemilu yang terjadi. Ia menyebut kotak suara pun tidak ada. Sehingga, ia menegaskan tidak ada tempat yang tersedia bagi masyarakat untuk datang memberikan hak pilih. Ia mengatakan, tidak ada petugas dan penyelenggara pemilu.

Novela pun menyebut tidak ada proses penandatanganan berita acara yang dilakukan. Hakim Hamdan kemudian memberikan kesempatan kembali bagi saksi apabila akan memberikan keterangan tambahan. "Saya tidak bisa terangkan karena memang tidak ada, Pak. Terimakasih," kata dia.

Hakim konstitusi Patrialis Akbar meminta izin untuk mengorek keterangan saksi dari Papua ini. Ia meminta Novela untuk menggambarkan suasana masyarakat saat 9 Juli di Kampung Awabutu. "Bagaimana suasana masyarakat, yang saudara lihat. Kan katanya ada masyarakat?," tanya Patrialis.

Novela kembali menjawab dengan cepat. "Ada masyarakat. Jangan tanya saya. Saya juga masyarakat. Tanya saja penyelenggara pemilu yang harus sosialisasi, Pak. Bukan kami. Terimakasih Pak." Mendengar jawaban itu, Patrialis tersenyum. "Gapapa. Saya senang dengan gaya-gaya anda karena memang suasanan ini biasanya tidak seperti ini. Lanjutkan gaya-gayanya itu," kata Patrialis.

Hakim Patrialis menanyakan mengenai komunikasi yang dilakukan Novela karena tidak adanya penyelenggaraan pemilu di Kampung Awabutu. Novela mengatakan tidak komunikasi dengan siapapun dan hanya diam. Patrialis menegaskan jawaban itu dan saksi kembali memberikan jawaban. "Saya diam-diam saja. Kita orang manusia punya pikiran. Kita mau penyelanggara pemerintah juga ada sosialisasi supaya kami semua masyarakat tahu. Kami ini di gunung. Jangan bodoh-bodohi kami terus, sosialisasi. Supaya kami juga tahu tahapan itu ada," ujar dia.

Setelah Patrialis, giliran hakim Arief Hidayat yang meminta keterangan dari Novela. Ia menanyakan jarak distrik terdekat dari Kampung Awabutu. Novela mengatakan, distrik berada tidak jauh dan menyebut jaraknya 300 kilometer. Hakim semula mengira tidak ada yang aneh dengan jawaban saksi. "Nah di distrik..300 kilometer? Waduh," kata Arief.

Novela segera meralat jawabannya. Ia mengatakan, hanya manusia, pasti ada salah. Saksi kemudian menerangkan jarak dari kampung ke wilayah distrik hanya 300 meter. Ia kemudian diminta untuk menggambarkan situasi di distrik saat hari pencoblosan. Namun Novela menolak. "Saya tidak mau bicara yang lain. Saya hanya bicara di kampung saya," ujar dia.

Saat kembali diminta menjelaskan, Novela tetap bersikukuh enggan menjelaskan situasi di tempat lain. Ia mengatakan, hanya fokus dengan tugasnya sebagai saksi di kampung. Menerima jawaban itu, Arief berkelar dengan mengatakan, "Bisa kacau kalau saya terus." Novela spontan menanggapi. "Sama saya juga kacau. Bapak kacau, saya lebih kacau," kata dia.

Redaktur : Nidia Zuraya
Reporter : Irfan Fitrat
  Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi republika.co.id. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

Republika.co.id berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
avatar
Login sebagai:
Komentar