Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva (kedua kanan) memimpin sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (8/8).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Sinergi Masyarakat untuk Indonesia (Sigma) Said Salahuddin, menilai Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) dinilai menjadi satu diantara penyebab utama kisruh Pilpres 2014.
Menurutnya, DPK dan DPKTb tak harus ada lagi pasca putusan MK nomor 102/PUU-VII/2009 yang membolehkan orang yang tidak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT) bisa menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan KTP atau paspor.
"Itu (putusan MK nomor 102/PUU-VII/2009) tidak harus dimaknai untuk dilanggengkan. Jadi itu bukan dimaksudkan untuk terus dipelihara. Putusan itu bersifat darurat saat itu demi menyelamatkan puluhan juta rakyat yang tidak terdaftar saat pemilu legislatif. Sebagai langkah darurat sebenarnya," kata Said lewat keterangan pers yang diterima ROL, Selasa (12/8).
Lebih lanjut, dia menilai DPK dan DPKTb tak perlu ada lagi karena setelah putusan MK tersebut, dalam putusan MK lainnya juga menyatakan KPU harus memperbaiki DPT agar tidak ada lagi masyarakat yang tidak terdaftar. Kalau diperbaiki, berarti ketentuan DPK dan DPKTb itu tidak seharusnya dilanggengkan. Said juga menilai penggunaan KTP juga tidak memberi kepastian hukum pada pemilih.
"DPK dan DPKTb tak ada jaminan surat suara. Surat suara dicetak sejumlah DPT ditambah dua persen. Dua persen itu untuk DPT juga, bukan untuk DPK dan DPKTb. DPK dan DPKTb hanya pemilih untung-untungan. Dapat surat suara sukur, enggak dapat ya wasalam. Itu tidak menciptakan kepastian hukum," jelasnya.