REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Margarito Kamis menjelaskan sebenarnya tidak tepat jika menyebut Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) menyebabkan ketidakpastian hukum. Lebih dari itu DPK dan DPKTb memang tidak memiliki dasar hukum.
"Anda tidak menemukan satu ketentuan, baik berupa pasal, ayat, atau huruf dalam UU nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden. Apa akibat hukumnya? Akibat hukumnya adalah keberadaan dan pengunaan DPK serta DPKTb itu tidak sah," cetus Margarito lewat keterangan yang diterima ROL, kemarin.
Menurutnya jika DPK dan DPKTb itu digunakan di seluruh Indonesia pada pemungutan suara Pilpres 9 Juli kemarin, maka hal itu dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran masif.
"Bila DPK dan DPKTb itu digunakan di seluruh Indonesia, dapat dikualifikasikan pelanggaran dalam pilpres ini bersifat masif. Akibat hukumnya adalah pemungutan suara ulang harus dilakukan, dengan didahului pembenahan dan atau pembetulan atas seluruh DPT," paparnya.