Home >> >>
DPK dan DPKTb Dinilai Jadi Bukti Pelanggaran Pilpres
Selasa , 19 Aug 2014, 23:25 WIB
bawaslu.go.id
Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Sinergi Masyarakat untuk Indonesia (Sigma) Said Salahudin, menjelaskan setidaknya ada sejumlah argumen yang bisa menyimpulkan adanya masalah dalam Pilpres 2014. Pertama, daftar pemilih yang diakui, dibenarkan, dan sah menurut UU nomor 42 tahun 2009 tentang Pilpres hanya ada satu, yaitu Daftar Pemilih Tetap (DPT). Namun di lapangan ternyata yang diacu malah Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb).

 

"Tidak ada satu norma pun dalam UU Pilpres, baik secara implisit apalagi eksplisit, yang memerintahkan kepada KPU untuk menyusun DPK dan DPKTb," ujar Said dalam keterangannya yang diterima ROL, kemarin.

 

Hal kedua, kata Said, kewenangan yang diberikan UU Pilpres kepada KPU untuk menyusun daftar pemilih bersifat restriktif. Yaitu KPU hanya diberi wewenang untuk mengatur yang terkait dengan pemutakhiran, pengumuman, perbaikan Daftar Pemilih Sementara (DPS), dan penetapan DPT. Hal ini tegas diatur dalam Pasal 29 ayat 6 UU Pilpres.

 

Ketiga, DPK dan DPKTb bukanlah daftar pemilih yang dimaksud oleh Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009. Sebab syarat dan cara yang diatur oleh KPU tentang DPK dan DPKTb justru bertentangan dengan syarat dan cara yang diatur dalam putusan tersebut.

 

"Dalam Putusan itu tegas disebutkan bahwa hanya KTP dan Paspor yang diperbolehkan sebagai syarat bagi pemilih untuk memberikan suaranya di TPS. Tetapi KPU justru memperbolehkan Surat Keterangan domisili dari kepala desa/ lurah sebagai pengganti KTP," cetusnya.

 

Said menuturkan dalam putusan tersebut MK telah menyatakan secara tegas bahwa KPU tidak boleh mengatur syarat administratif pengganti DPT. Syarat administratif lain yang menjadi alternatif DPT, ucapnya, hanya bisa diatur oleh pembentuk UU dan MK. Yaitu melalui amandemen UU Pilpres, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), dan Putusan MK.

Redaktur : Sammy Abdullah
  Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi republika.co.id. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

Republika.co.id berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
avatar
Login sebagai:
Komentar