Penggagas gerakan Say No To Miras, Fahira Idris (kanan), menunjukan buku dan kaos bertuliskan Anti Miras di Jakarta, Senin (3/3). (Republika/Tahta Aidilla)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai ibu kota negara, Jakarta harus menjadi acuan (role model) bagi kota-kota lainnya di tanah air. Namun sayangnya masih banyak kekurangan di Jakarta. Salah satunya, Jakarta belum menjadi kota yang ramah perempuan.
Aktivis perempuan Fahira Idris mengatakan, saat ini tata ruang di Jakarta mulai transportasi publik hingga ruang-ruang publik belum ramah terhadap perempuan.
“Coba cek, berapa banyak mall atau kantor di Jakarta yang punya lift tembus pandang. Kebanyakan tertutup, dan ini rentan terjadinya tindak kejahatan kepada perempuan. Atau perhatikan toilet apakah sudah sesuai untuk kebutuhan perempuan baik jumlahnya maupun fasilitasnya," ujar Fahira, Sabtu (22/3).
Hal ini yang kemudian membuat perempuan kerap menjadi target tindak kriminal juga pelecehan seksual.
Padahal, jelas Fahira, perempuan-lah yang paling sering menggunakan fasilitas publik. Perempuan yang mengantar anak sekolah, belanja ke pasar atau pusat perbelanjaan juga mengajak anak bermain di taman dan juga harus bekerja terkadang sampai malam.
"Jadi kenyamanan dan keamanan perempuan harus dijamin, jika Jakarta ingin disebut kota yang ramah terhadap perempuan,” ujar Caleg DPD nomor urut 11 ini.
Dikatakanya, Jakarta juga luput dalam memperhatikan hal-hal kecil yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi perempuan.
Program jaminan kesehatan dan sosial untuk perempuan yang jauh lebih banyak ketimbang laki-laki serta mempunyai banyak program-program pelatihan keterampilan khusus perempuan juga salah satu syarat untuk mewujudkan kota yang ramah kepada perempuan.
Jika terpilih sebagai anggota DPD, Fahira akan mendorong Jakarta sebagai kota pertama di Indonesia yang ramah terhadap perempuan dan menjadi model bagi daerah lain.
“Sekuat tenaga, saya akan dorong ini menjadi kenyataan dengan kemampuan dan kapasitas saya jika nanti terpilih sebagai anggota DPD,” tegasnya.