Dua wanita berpakaian adat Minangkabau. (ilustrasi)
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Hafil/Wartawan Republika
Peran bundo kanduang dalam masyarakat Minangkabau mendapat posisi yang tinggi. Segala keputusan dan kebijakan tak bisa dilepaskan dari pertimbangannya. Hal ini terjadi karena adat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal atau sistem kekerabatan yang mengikuti garis keturunan ibu. Peran bundo kanduang pun dijunjung tinggi.
Ketua Umum Lembaga Bundo Kanduang Sumatra Barat, Puti Reno Raudhatuljannah Thaib Yang Dipertuan Gadih Pagaruyung, menjelaskan bundo kanduang ada di setiap kaum atau suku di Minangkabau. Secara harfiah, bundo kanduang berarti ibu kandung, tapi secara makna bundo kanduang adalah pemimpin wanita di Minangkabau.
Ia merupakan wanita bijaksana, penjaga kesejahteraan dalam masyarakat, dan pemegang kedaulatan utama. Istilah bundo kanduang ini diperkirakan sudah ada sejak zaman kerajaan Pagarruyung berabad-abad lalu.
Bundo kanduang menunjukkan posisi mulia perempuan Minangkabau dalam tatanan adat masyarakatnya. Perempuan tidak saja sebagai penerus keturunan, tetapi perannya juga dalam keterlibatan perempuan di setiap musyawarah sebuah daerah.
Jika diibaratkan manajemen perusahaan, pada adat Minangkabau bundo kanduang menjadi pemegang saham. Ia yang menjadi pemimpin kaum perempuan di sukunya menjadi pemilik sawah, ladang, dan posisinya menjadi komisaris. Sedangkan laki-laki, menjadi direksinya dan pelaksana perusahaan tersebut. Jadi, begitu besar peranan perempuan dalam konsep persukuan di Tanah Minang.
Namun, sosok bundo kanduang seperti itu hampir sulit ditemukan dalam politik kekinian. Politikus perempuan yang berkiprah menjadi calon legislatif (caleg) atau sudah menjadi anggota legislatif tak banyak yang memiliki sifat-sifat bundo kanduang. Sosok bundo kanduang seolah hanya ada di dalam sebuah dongeng belaka.
Akibatnya, masyarakat melupakan politikus perempuan ini yang membuatnya sulit untuk bersaing menjadi anggota dewan. Kuota 30 persen untuk wanita di parlemen pun tak bisa dipenuhi.
Puti Reno, selaku sosok bundo kanduang menyampaikan keprihatinannya pada politikus perempuan di Tanah Minang. Menurut dia, banyak caleg yang tidak terpilih saat pemilu-pemilu sebelumnya bukan karena masyarakat tak menginginkan adanya wakil perempuan di legislatif. Karena, kiprah seorang perempuan Minangkabau tak dibatasi oleh adat.
Tetapi, hal tersebut lebih karena masyarakat Minangkabau yang dikenal memiliki pandangan rasional dan terbuka tak mau memilih wakilnya yang tak memiliki kapasitas. "Jadi ini semua bergantung dengan kapasitas para caleg perempuan itu," kata wanita yang akrab dipanggil Puti Reno tersebut kepada Republika, Kamis (27/3).
Puti yang merupakan guru besar Ilmu Pertanian Universitas Andalas ini menjelaskan, hal tersebut tak lepas dari kesalahan partai politik yang asal-asalan dalam memilih caleg. Mereka tidak dipilih berdasarkan kapasitas dan kemampuan. "Yang penting bagi partai politik bisa melepas kewajiban menyodorkan caleg perempuan untuk memenuhi kuota," kata Puti.
Ia menyesalkan caleg-caleg perempuan tersebut, banyak yang tak diarahkan untuk mengetahui tentang sosok bundo kanduang ke lembaga bundo kanduang yang dipimpinnya atau Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Di sana, mereka akan mendapatkan pembinaan bagaimana seharusnya menjadi wanita yang memiliki kapasitas dalam berpolitik. Apalagi, adat Minangkabau dikenal sebagai suku yang mengutamakan musyarawah untuk mufakat dan terdapat banyak pendidikan politik di dalamnya.
Pengamat Politik Universitas Negeri Padang (UNP), Nora Eka Putri, mengamini pernyataan Puti Reno. Menurut dia, caleg perempuan di Sumatra Barat memang masih pemenuhan kuota saja. Tetapi, kaderisasinya masih sangat lemah.
Caleg perempuan justru dijadikan komoditas politik bahwa partai politik telah mengusung bundo kanduang. Padahal, caleg-caleg perempuan tersebut tak memiliki kapasitas bundo kanduang seperti yang diterangkan dalam adat.
"Ini dilakukan sebagai pencitraan partai politik saja bahwa mereka telah mengusung bundo kanduang dan menarik perhatian masyarakat bahwa partai itu peduli dengan adat," kata Nora yang merupakan staf pengajar di jurusan ilmu politik UNP tersebut.
Menurut Nora, hanya sedikit caleg perempuan di Sumatra Barat yang memiliki kapasitas, sebagaimana sosok bundo kanduang yang dijelaskan dalam adat Minangkabau. Hal itu ia ketahui dari informasi di lapangan bahwa banyak caleg perempuan yang dipaksakan ikut pemilu agar partainya bisa lolos kualifikasi. "Jadi banyak perempuan yang semua keperluannya dibiayai partai politik agar mereka mau menjadi caleg. Padahal, mereka ini bukan termasuk orang yang memiliki kapasitas," katanya.
Dalam sebuah kesempatan, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar, pernah mengingatkan agar perempuan tidak sekadar dijadikan objek oleh partai politik untuk memenuhi kuota yang ditetapkan aturan pemilu. Idealnya, saat pemilu usai partai politik langsung merekrut caleg perempuan untuk pemilu mendatang kemudian memberikan pendidikan politik.
Namun, bukan berarti tidak ada upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah itu. Saat partai politik lengah dalam memberikan pelatihan, pemerintah turun tangan untuk memberikan pembekalan kepada mereka. "Misalnya, berupa pemahaman tentang isu tumbuh kembang anak atau kesehatan bagi ibu dan anak," kata Linda.
Partainya kaum bundo
Dewan Pimpinan Wilayah Partai Kebangkitan Bangsa (DPW PKB) Sumatra Barat membantah asal-asalan atau sekadar memenuhi kuota 30 persen dalam memilih perempuan sebagai calegnya. "Kalau asal-asalan kita tidak menempatkan caleg perempuan pada nomor urut satu di delapan daerah pemilihan Sumatra Barat. Tidak hanya di DPRD kota dan provinsi, tapi juga untuk DPR RI," kata Sekretaris DPW PKB Sumatra Barat, Azwar Abbas.
Keputusan PKB Sumatra Barat menempatkan caleg perempuan di nomor urut satu pada delapan daerah pemilihan merupakan sikap serius. "Bahkan, banyak yang menyebut kita sebagai Partainya Kaum Bundo (PKB)," kata Azwar.
Selama ini, perempuan banyak ditempatkan pada nomor urut yang tidak strategis. Karena itulah, PKB melihat Sumatra Barat dengan adat Minangkabaunya yang menjunjung tinggi kaum wanita mengambil kesempatan itu.
Secara politik, penempatan caleg perempuan ini akan menarik perhatian pemilih perempuan. Karena, paling banyak yang memilih itu adalah perempuan. Namun, bukan berarti PKB hanya sebatas menarik perhatian kaum perempuan. Secara adat Minangkabau, PKB juga tetap melihat dan memilih sosok bundo kanduang pada caleg-caleg perempuan itu.
"Mereka yang kita pilih itu selama ini merupakan sosok yang berpengaruh dalam adat dan masyarakat," katanya. Setelah itu, para caleg perempuan yang terpilih itu diberikan pembekalan dan pelatihan tentang politik. Tidak hanya pelatihan internal, tapi juga dari lembaga-lembaga perempuan yang berkompeten. Sehingga, Azwar yakin bahwa caleg-caleg perempuan yang diusung PKB adalah mereka yang memiliki kapasitas sebagai seorang politikus yang bermanfaat bagi rakyat.
Pendekatan seorang wanita
Wilda Qudsi Mirawati, caleg DPRD Provinsi Sumatra Barat nomor urut dua Partai Golkar daerah pemilihan Sumatra Barat tiga (Kabupaten Agam dan Kota Bukittinggi), mengatakan ia dianggap telah memiliki kapasitas. Sehingga, berhasil dipilih menjadi nomor urut dua oleh partai. "Kalau saya berpolitik dan berorganisasi ini memang hobi sejak sekolah. Pengetahuan dan pendidikan politik saya juga telah memenuhi persyaratan sebagai seorang politikus," kata Wilda yang mendapatkan gelar sarjana ilmu politiknya dari Universitas Andalas ini.
Dengan kemampuannya itu, Mira mengaku siap bertarung dalam pemilu. Bahkan, ia mengaku sanggup mengalahkan caleg-caleg lainnya yang laki-laki. "Boleh diadu," kata Mira menantang.
Untuk meraih simpati calon pemilihnya, Mira mengaku memiliki cara yang berbeda. Ia mengaku melakukan pendekatan dengan hati layaknya seorang bundo kanduang kepada rakyat. Ia tidak mau membagi-bagikan uang saat kampanye atau memberikan sumbangan saat mendatangi warga.
"Saya bilang ke calon pemilih saya. Kalau saya memberikan uang sebelum pemilihan artinya saya telah membayar mereka. Sehingga saya ketika terpilih tak akan kembali lagi ke daerah pemilihan saya. Tapi, pilihlah saya dengan ikhlas maka saya akan merasa berutang budi dan membuat saya kembali untuk membangun daerah ini," ujar Mira menirukan caranya berkomunikasi dengan rakyat.
Selain itu, Mira dalam kampanye juga tidak mau membodohi konstituennya seperti yang dilakukan oleh anggota dewan yang telah terpilih dan giat turun kembali ke daerah pemilihan, dengan membagi-bagikan uang dan sumbangan yang menurut mereka adalah sumbangan pribadi.
Bagi Mira, hal tersebut merupakan pembodohan publik karena anggota dewan memang memiliki dana aspirasi terhadap daerah pemilihannya. "Tapi itu yang salah, anggota dewan mengatakan bahwa itu adalah sumbangan pribadi. Padahal, rakyat daerah pemilihan memang berhak menerima dana aspirasi dari uang negara tersebut," kata Mira.
Namun, bukan berarti Mira sama sekali tak memiliki modal finansial untuk menjadi anggota dewan. Ia mengaku untuk kampanye ini, dana yang dikeluarkan mencapai Rp 50 juta. Jumlah yang menurut dia relatif kecil jika dibandingkan caleg-caleg lainnya yang mencapai ratusan juta.
Mira yakin, cara pendekatannya yang berbeda dengan caleg kebanyakan membuahkan hasil. Karena, banyak warga di daerah pemilihannya yang ia temui bahkan ikut terbawa emosi saat ia menyampaikan pandangannya itu. Bahkan, ada yang bilang akan mendukung Mira menjadi kepala daerah beberapa tahun mendatang. "Inilah pendekatan seorang wanita, dengan hati," katanya.