REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perolehan laba PT Pertamina (Persero) sepanjang Semester I 2018 tidak cukup menggembirakan. Menurut Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno, laba yang berhasil dibukukan perusahaan BUMN sektor migas ini tidak mencapai Rp 5 triliun.
Fajar menjelaskan menurunnya laba pertamina ini dikarenakan harga minyak dunia yang semakin naik dan tidak adanya kenaikan harga bensin. Selain itu, Fajar juga mengatakan tugas Pertamina dalam menyalurkan BBM satu harga dan mendistribusikan elpiji bersubsidi juga menjadi penyebab Pertamina kehilangan laba yang cukup banyak.
"Iya, baru tercapai semester satu tidak sampai Rp 5 triliun. Jauh lah dari RKAP yang dipatok Rp 32 triliun," ujar Fajar di DPR, Kamis (6/9).
Fajar juga menjelaskan Pertamina merupakan perusahaan plat merah yang memiliki dua sumber penerimaan. Yaitu penerimaan dari hulu dan potensi di hilir.
Namun, memang Fajar tak menampik beban yang berada di hilir jadi salah satu masalah tersendiri bagi Pertamina. "Meski harga minyak yang naik tersebut menyebabkan pendapatan di sektor hulu migas naik, hal tersebut belum cukup untuk menjadi kompensasi pendapatan di sektor hilir," ujar Fajar.
Melihat kondisi ini, akhirnya, Fajar mengaku memang pada tahun depan, usulan setoran deviden yang menjadi kewajiban Pertamina harus berkurang. Fajar mengatakan di tahun depan kinerja Pertamina akan berat, mengingat harga minyak dunia dan kurs Rupiah yang mengalami tekanan, membuat laba perusahaan mengalami penurunan sehingga menurunkan setoran dividen juga.
Fajar menjelaskan pemerintah menetapkan besaran dividen dari Pertamina sebesar Rp 1,35 triliun. Padahal di rencana 2018 awal kemarin, Pertamina mestinya menyetor deviden ke negara sebesar Rp 3,42 triliun.
"Kemudian mungkin kami akan sampaikan sekidt, dari keseluruhan sekilas mengenai kinerja BUMN di sektor PISM itu yang paling berata adalah saat ini Pertamina dan PGN, khususnya Pertamina, jadi mungkin akan jauh menurun labanya," ujar Fajar.