Kamis 06 Sep 2018 18:16 WIB

'Pelemahan Rupiah Harus Diwaspadai'

Pendapatan dari ekspor minyak meningkat, tetapi sumber pendapatan lain tertekan.

Firmanzah
Firmanzah

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang telah menembus Rp 14.900 per dolar AS beberapa waktu lalu dinilai harus diwaspadai oleh otoritas pemerintahan, baik pada sektor fiskal maupun sektor riil.

"Karena dampaknya sangat strategis. Seperti diketahui ekonomi kita semakin terintegrasi dengan ekonomi regional dan global, baik dari sisi pasar keuangan, ekspor-impor, mobilitas dana, dan lain-lain," kata ekonom yang juga Rektor Universitas Paramadina, Prof Firmanzah, kepada Republika, Kamis (6/9).

Negara-negara berkembang, kata dia, dianggap memiliki risiko tinggi setelah adanya krisis ekonomi di sejumlah negara seperti Argentina, Turki, dan Afrika Selatan. "Karena investor global ramai-ramai keluar dari negara emerging, termasuk Indonesia. Oleh karena itu pelemahan rupiah harus diantisipasi," katanya.

Firmanzah pun menyatakan tak sepakat dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengatakan pelemahan rupiah berdampak positif terhadap APBN. Sebelumnya, dalam RAPBN 2019, Sri menyebutkan setiap pelemahan Rp 100 per dolar AS dapat memberikan tambahan pendapatan sebesar Rp 900 miliar hingga Rp 1,5 triliun.

"Saya kira harus direlativisir. Dalam beberapa hal seperti pendapatan negara dari ekspor minyak memang meningkat, tetapi sumber pendapatan lain juga tertekan. Oleh karena itu harus dilihat lebih utuh," kata mantan dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu.

Meskipun demikian, menurut Firmanzah kondisi ekonomi Indonesia saat ini relatif lebih baik jika dibandingkan saat dua krisis ekonomi sebelumnya, yaitu pada 1998 (krisis moneter) dan 2008 (krisis ekonomi global). 

"Memang sudah terdapat bilateral currency swap agreement (BCSA), termasuk Chiang Mai Initiative (CMI), sehingga kalau ada apa-apa pada cadangan devisa kita masih ada backup. Yang kedua, inflasi kita juga relatif terkendali," katanya.

Namun, yang jadi masalah adalah adanya defisit pada negara perdagangan dan neraca pembayaran. Kemudian kebutuhan akan dolar juga cukup tinggi. Selain itu juga terdapat tekanan utang dalam bentuk mata uang asing yang semakin tinggi.

Jadi, kata dia, tidak hanya APBN yang dalam hal ini terbebani cicilan utang yang besar, namun juga korporasi yang pinjamannya dalam bentuk dolar AS yang tertekan. "Jadi gabungan tingginya harga minyak mentah dunia dengan depresiasi nilai rupiah itu yang harus diwaspadai," kata Firmanzah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement