REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Kenaikan nilai tukar dolar terhadap rupiah membuat para pengrajin tempe harus menyiasati kondisi tersebut. Pasalnya, kedelai yang menjadi bahan baku pembuatan tempe mereka masih bergantung pada impor. "Ini risiko pakai kedelai impor. Saat dolar naik, harga kedelai juga ikut naik," ujar seorang pengrajin tempe di Kelurahan Sukapura, Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon, Darnubi, Kamis (6/9).
Darnubi mengaku, belum mengetahui berapa harga kedelai saat ini. Pasalnya, dia masih memiliki stok kedelai. "Harga lama kedelai sebesar Rp 7.700 per kg. Kalau yang baru, saya belum tahu, belum beli lagi," tutur Darnubi.
Darnubi mengaku membutuhkan 50 kg kedelai setiap harinya. Dari 50 kg kedelai itu, bisa menghasilkan sebanyak 20 lonjor tempe dengan panjang dua meter setiap lonjornya.
Dari satu lonjor tempe itu, bisa dipotong menjadi sepuluh potong. Setiap potong, dijual dengan harga Rp 3.000.
Jika nanti harga kedelai naik, Darnubi mengaku akan memperkecil ukuran tempe. Yakni dari sepuluh potong setiap lonjornya menjadi 11 atau 12 potong per lonjor. "Selain panjang tempe, ketebalan tempe juga mungkin dikurangi sedikit," tutur Darnubi.
Darnubi menyatakan, memperkecil ukuran tempe lebih dipilih pengrajin dalam mensiasati kenaikan harga kedelai, dibandingkan meningkatkan harga jual pada konsumen. Pasalnya, kenaikan harga akan membuat produk mereka ditinggalkan konsumen. "Konsumen pasti maklum dengan ukuran tempe yang lebih kecil," tandas Darnubi.