REPUBLIKA.CO.ID, PNOM PHEN -- Anggota parlemen Kamboja pada Kamis (6/9) memilih ketua parlemen dan pemerintahan baru pimpinan partai berkuasa Perdana Menteri Hun Sen. Sebelumnya, pemilihan umum Kamboja digelar pada Juli.
Pemilu itu sendiri dikecam beberapa negara, terutama karena tidak ada pesaing. Hun Sen, 66 tahun, menyatakan pemerintahannya akan melayani negara dan rakyat sesudah pemungutan suara itu memperpanjang 33 tahun pemerintahannya dengan lima tahun lagi. Beberapa perubahan pada kabinetnya menyoroti pengaruh politik keluarga semakin besar.
Putranya, Hun Manet, menjadi kepala staf gabungan, sementara putra termudanya -Hun Many- memimpin komisi pemuda dan olahraga parlemen. Ketua Majelis Nasional, Heng Sarin, tetap di jabatannya.
Partai Rakyat Kamboja (CPP) Hun Sen merebut semua 125 kursi parlemen dalam pemilihan umum itu. Perserikatan Bangsa-Bangsa dan beberapa negara Barat menilai Pemilu cacat karena ketiadaan oposisi mumpuni, di antara unsur lain.
Partai Penyelamatan Bangsa Kamboja (CNRP), yang dibubarkan Mahkamah Agung pada tahun lalu dan 118 anggotanya dilarang berpolitik selama lima tahun, menyebut pemilihan umum pada Juli itu lelucon.
"Pemilihan itu tidak sah, sehingga Majelis Nasional dan pemerintah juga tidak sah," kata Kem Monovithya, putri pemimpinnya, Kem Sokha, yang dipenjara atas tuduhan makar pada September lalu dan masih dalam penahanan pra-sidang, kepada Reuters.
"Kecuali ada pembalikan, Kamboja sedang menuju keterkucilan," katanya.
Dengan cengkeramannya yang meyakinkan pada kekuasaan, Hun Sen mulai meredakan tekanannya terhadap penentang dan lawan, yang dimulai pada beberapa hari sebelum pemilihan umum tersebut. Empat belas penentang pemerintah dibebaskan dari penjara pada bulan lalu. Hal itu menjadi langkah yang dilihat sebagai upaya menenangkan kecaman asing atas pemilihan umum tersebut.