Rabu 30 Mar 2011 15:23 WIB

Mantan Rektor ITS Dukung Pencabutan Permendiknas

Rep: Erik Purnama Putra/ Red: Djibril Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA - Gugatan 12 guru besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya terhadap Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 24 Tahun 2010 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor di pada Perguruan Tinggi mendapat dukungan dari mantan rektor ITS, Prof Sugiono.

Ia mendukung pencabutan Permendiknas yang dianggap bentuk intervensi dalam proses pemilihan rektor (pilrek) itu. "Permendiknas itu harus dicabut, 35 persen suara yang dimiliki oleh Mendiknas itu mengebiri otonomi kampus," kata Sugiono, Rabu (30/3).

Sebelumnya, 12 guru besar yang tidak puas hasil pilrek ITS menggugat Permendiknas Nomor 24 Tahun 2010 ke Mahkamah Agung dengan nomor gugatan 03/2011/HUM. Gugatan dilayangkan karena hak suara Mendiknas sebesar 35 persen dalam pemilihan rektor dianggap sebagai bentuk intervensi dan bertentangan dengan otonomi kampus.

Sugiono menilai, keputusan untuk mencabut peraturan tersebut tidak bisa ditawar-tawar lagi. Ia menyayangkan sikap Majelis Rektor tidak menyadari atas bentuk intervensi pemerintah tersebut. Majelis Rektor menjadi lemah karena ancaman yang diberikan terhadap ketidakpatuhan peraturan terkait aliran dana bantuan pengembangan kampus. "Sikap Majelis Rektor jadi tiarap dan banci akibat peraturan itu, terlebih lagi ancamannya adalah selalu dana," tegasnya.

Sugiono menyebut, posisi rektor perguruan tinggi negeri (PTN) harus memiliki wibawa yang sepadan dengan kepala daerah. Karena itu, pihaknya menyayangkan jika rektor hanya diangkat oleh seorang yang menjabat menteri. Terlebih lagi, Mendiknas ikut campur dalam proses pemilihan Rektor.

"Menjadi rektor itu tidak sembarangan, perlu ada saringannya. Kalau menteri punya suara apalagi sebesar 35 persen bisa jadi suka-suka dia," kritiknya.

Sugiono menyatakan, saat ini banyak rektor termasuk PTN besar sebenarnya gusar atas peraturan tersebut. Hanya saja, tidak ada yang berani menyampaikan keluhannya secara terbuka. Bahkan, para rektor itu memilih sikap berusaha dekat dengan Mendiknas agar saat masa jabatannya habis dan mencalonkan diri kembali bisa mendapat simpati sehingga diberi suara 35 persen oleh Mendiknas.

"Jika semua minta restu pada Mendiknas jabatan rektor hanya milik orang-orang dekat dia. Rektor sekarang pada tiarap dan jadi takut bersuara akibat wewenang Mendiknas kekuatan untuk menjadikan seseorang jadi rektor," kata guru besar Teknik Kelautan ITS itu.

Sementara itu, mantan rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof Haris Supratno menyatakan kepemilikan suara Mendikas memang tidak mencerminkan otonomi kampus. Mendiknas dikhawatirkan melakukan intervensi karena kepemilikan suaranya cukup besar, yakni mencapai sepertiga suara secara keseluruhan. "Ini artinya aspirasi bawah belum tentu terakomodasi, karena kepemilikan suara Mendiknas cukup besar," ucap Haris.

Ia menegaskan, munculnya aturan tersebut membuat rektor terpilih merupakan orang-orang yang dekat dengan Mendiknas. Hal tersebut dikhawatirkan rektor dipilih bukan karena kemampuannya, melainkan karena faktor kedekatan. "Kalau keinginan Senat dengan Mendiknas sama tidak masalah, namun akan beda kejadiannya kalau keinginan itu tidak sama, seperti yang terjadi di ITS," jelasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement