REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah membantah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) menciptakan diskriminasi dan kasta dalam dunia pendidikan.
Deputi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Bidang Pendidikan dan Agama Agus Sartono menyatakan, tidak benar Kementerian Pendidikan Kebudayaan (Kemendikbud) menyelenggarakan RSBI yang menimbulkan diskriminasi.
Dia menyatakan, penyelenggaraan RSBI adalah amanat UU Sisdiknas. Sehingga pemerintah harus menyelenggarakan RSBI di setiap jenjang provinsi, kabupaten/kota. “Ini media sarana untuk memberi pelayanan khusus kepada siswa berprestasi lebih,” kata Agus dalam konferensi pers di kantornya, Rabu (21/3).
Menurut Agus, ide pendirian RSBI sangat bagus dan menjadi sarana untuk menyelenggarakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Kalau dalam pelaksanaannya ditemukan penyimpangan, saran dia, maka bisa diperbaiki pelaksanaannya, bukan dibubarkan.
Atas dasar itu, pihaknya menolak anggapan RSBI menghilangkan diri bangsa, sebab siswa dipaksa menggunakan bahasa pengantar bukan bahasa Indonesia. DIjelaskannya, sangat keliru kalau siswa dipaksakan berbahasa asing, sebab hal itu hanya sebagai opsi bukan kewajiban. "RSBI merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional," kata Agus.
Menkokesra Agung Laksono menilai keliru jika ada pihak yang menuding seolah RSBI itu membentuk kastanisasi. Diterangkannya, RSBI memberi alokasi sebesar 20 sampai 25 persen bagi warga kurang mampu dengan menyediakan beasiswa.
Sehingga tidak ada alasan bagi warga miskin tidak bisa sekolah di RSBI. Karena itu, RSBI diadakan guna menciptakan adanya sekolah lebih maju. "Tidak betul ada kastanisasi. Education for all," kilah Agung.
Pemohon uji materiil (judicial review) UU Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 50 Ayat 3 ke Mahkamah Konstitusi (MK) adalah sejumlah orang tua murid dan aktivis pendidikan.
Para pemohon di antaranya adalah Andi Akbar Fitriyadi, Nadia Masykuria, Milang Tauhida (orang tua murid), Juwono, Lodewijk F Paat, Bambang Wisudo, Febri Antoni Arif (aktivis pendidikan). Mereka mengaku tak bisa mengakses satuan pendidikan RSBI/SBI. Alasannya sekolah berlabel internasional itu menerapkan tarif sangat mahal sehingga hanya dapat dinikmati kelas atas.
Pemohon menilai pasal yang mengatur penyelenggaraan satuan pendidikan bertaraf internasional itu diskriminatif. Keberadaan pasal itu menimbulkan praktek perlakuan yang berbeda antara sekolah umum dan RSBI/SBI.