REPUBLIKA.CO.ID, MAGELANG - Siswa tuna rungu wicara kelas XII Sekolah Menengah Kejuruan Pangudi Luhur Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Henry Restya Susetya meraih nilai ujian nasional tertinggi di Jurusan Otomotif di sekolah itu.
"Nilai rata-ratanya 8,2, dan mengungguli 49 anak normal lainnya di Jurusan Otomotif, sedangkan untuk tingkat sekolah dia menduduki ranking dua," kata guru wali kelas XII Jurusan Otomotif SMK Pangudi Luhur, Agustinus Ngadisa di Magelang, Selasa (29/5).
Menurut Ngadisa, sejak diterima di SMK pangudi Luhur, siswa berkebutuhan khusus tersebut memang dikenal cerdas, bahkan sejak duduk di kelas X, dia selalu mendapat ranking I di kelas.
Atas prestasi yang diraih anak pasangan Sri Sudiyati dan Supraptono, warga Kabupaten Purworejo itu, PT Astra International mengapresiasinya dengan diterima kerja tanpa tes. Namun, atas berbagai pertimbangan, Henry memilih untuk tetap melanjutkan sekolah.
"Saat ini saya belum berpikir bekerja. Saya masih ingin bersekolah dulu," kata Henry yang bercita-cita menjadi pegawai bank dan seorang programer ini didampingi ibunya.
Sri Sudiyati, mengatakan, anak keduanya ini diketahui menderita tuna rungu wicara sejak usia 11 bulan. Berbagai pengobatan sebenarnya telah dilakukan, namun tidak berhasil.
Pada usia lima tahun, Henri disekolahkan di SD Luar Biasa Don Bosco di Kabupaten Wonosobo. Saat itu, dia diketahui miliki kecerdasan dibanding anak lainnya, bahkan dinilai oleh para pengajar di tempat itu mampu bersekolah di tempat umum.
Setelah lulus dari SDLB tersebut, Henry melanjutkkan ke SMP Bruderan Purworejo. Anak yang memiliki hobi membaca ini kemudian meneruskan ke SMK Pangudi Luhur Muntilan.
"Kami bangga atas prestasi anak kami. Semoga ini menginspirasi anak-anak lain," kata Sri Sudiyati yang juga sebagai guru di SMP Negeri 13 Purworejo.
Wakil Kepala SMK Pangudi Luhur Bidang Kesiswaan, FX Yellow Bayu, mengatakan, meskipun sekolah umum SMK Pangudi Luhur juga menerima anak-anak berkebutuhan khusus terutama tuna rungu wicara yang miliki kelebihan. Hal ini sudah dilakukan sejak tahun 1980-an. Latar belakangnya, untuk menampung dan memberikan keterampilan kepada mereka.
"Semua anak bangsa dapat bersekolah di tempat kami. Kami tidak pernah membeda-bedakan dari mana mereka berasal, bahkan meskipun mereka berkebutuhan khusus, namun kalau memiliki sesuatu kelebihan, pasti kami terima," katanya.