REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan ITB Kadarsyah Suryadi mengungkapkan bahwa 15 mahasiswa dari provinsi papua dan papua barat yang keterima di Institut Teknologi Bandung (ITB) akan mendapatkan service.
"Nantinya para mahasiswa ini akan mendapatkan dosen wali untuk setiap mahasiswa, klinik pendidikan dan beasiswa bidik misi. Hal tersebut digunakan salah satunya untuk mengejar pelajaran yang telah tertinggal, agar mereka dapat langsung menyesuaikan dengan mahasiwa di jurusannya," kata Kadarsyah saat ditemui wartawan di Gedung Rektorat ITB Jalan Tamansari Kota Bandung, (7/9).
Kadarsyah mengatakan dengan adanya bantuan ini mereka harus dapat memanfakannya dengan baik, selain itu diharapkan lebih pandai bergaul dengan mahasiswa lainnya. "Tidak hanya itu, kami juga menyediakan asrama jika mereka berminat menempatinya," ujarnya.
Para mahasiswa tersebut, lanjutnya, mulai besok sudah bisa mengikuti perkuliahan. Namun sebelumnya mereka harus registrasi ulang terlebij dahulu untuk mendapatkan nomer induk mahasiswa.
"Dalam progam yang diterapkan Kemendikbud ini tidak ada target khusus bagi mahasiswa untuk lulus, tapi tentunya semua berharap mereka lulus tepat waktu. Untuk di ITB sendiri lulus paling cepat itu dalam kurun waktu empat tahun dan maksimal enam tahun," ungkapnya.
Dia menambahkan, para mahasiswa papua yang telat dalam mengikuti perkuliahan diharapkan jangan malu untuk bertanya kepada dosen atau mahasiswa lainnya. Setidaknya, saat ini mereka sudah tertinggal pelajaran selama lebih kurang 10 hari.
Sementara itu Muhammad Braen Kuhwor salah satu mahasiswa asal Provinsi Papua yang lolos progam Progam Affirmative Action mengaku pasrah saat dirinya dinyatakan diterima di Jurusan Teknik Mesin ITB.
"Sebenarnya kurang mengerti jika masuk di Jususan Teknik Mesin, saya lebih suka Jurusan Teknik Sipil. Tapi mau bagaimana lagi, dijalani saja mudah-mudahan kedepannya dapat terbiasa," katanya
Braen mengatakan pada saat seleksi dirinya sudah memilih Teknik Sipil sebagai pilihan utama, sedangkan Teknik mesin pilihan kedua. Namun hasil yang diharapkan berkata lain, dengan lapang dada dia menerima keputusan bahwa Teknik Sipil sebgai tempatnya jalani kuliah di ITB.
"Yang jelas saya tidak ingin mengecewakan semua pihak terutama orangtua, maka dari itu kuliah dengan serius dan lulus tepat waktu itulah solusinya," ujarnya.
Selain Braen, Abraham yang juga merupakan salah satu mahasiwa asal Papua melayangkan protes kepada pihak ITB, dengan didampingi ayahnya dia ingin dipindahkan ke Teknik Sipil dengan alasan kurang suka dengan teknik mesin. "Jika saya tidak dipindahkan ke Teknik Sipil saya akan keluar dari progam ini dan saya lebih memilih Itenas dengan jurusan Teknik Sipil. Selain itu saat ini saya sudah diterima di Itenas serta telah menjalani perkuliahannya," kata dia.
Lebih lanjut dia menambahkan bahwa bukanya tidak ingin kuliah di ITB, tapi kalau tidak sesuai dengan keinginan tentunya tentunya tidak baik. "Maka dengan itu, jika tidak diperkenankan pindah jurusan lebih baik saya kembali ke Itenas," tandasya.
Melihat reaksi tersebut pihak ITB langsung meresponnya, dalam rencananya keluhan itu akan langsung disampaikan pada pimpinan ITB selaku pemegang kebijakan untuk mencari solusinya.