REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Wakil Menteri Kesehatan Ali Gufron Mukti mengatakan, belum semua rumah sakit pendidikan atau rumah sakit akademik (RSA) di Indonesia berfungsi secara maksimal. Bahkan ada diantaranya yang belum beroperasi.
Saat ini, ada 19 unit RSA dibawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Dari jumlah itu ada yang baru mengajukan izin untuk beroperasi. "Ada juga yang sudah beroperasi lalu berhenti dan ada yang sudah beroperasi meskipun belum maksimal," ujarnya usai mengunjungi RSA Universitas Gadjah Mada (UGM), Sabtu (13/10).
Diakuinya, keberadaan RSA sangat diperlukan dalam rangka menghasilkan dokter dan tenaga kesehatan lain yang memiliki kompetensi dan standar yang diperlukan. Kompetensi standar ini bukan hanya untuk memenuhi tuntutan nasional tetapi juga global.
RSA sendiri kata dia, merupakan wahana untuk proses penggemblengan tenaga kesehatan terutama dokter sehingga standar kompetensi bisa terpenuhi. RSA bukan hanya untuk pembelajaran, tapi juga untuk pendidikan dan penelitian.
Pengembangan RSA, kata Ali Gufron, seringkali terkendala banyak hal antara lain sumber daya manusia. Apalagi kata dia, ada moratorium pegawai negeri sipil. Meskipun kementrian kesehatan dan kementrian pendidikan dan kebudayaan masih memiliki keleluasaan untuk pengangkatan pegawai, namun hal tersebut belum sesuai yang diharapkan. Kendala lain adalah masalah anggaran dan administrasi keuangan.
RSA UGM yang dibuka sejak 2 Maret 2012. Pasien di RS ini terus meningkat. Pada September lalu jumlah pasien rawat jalan mencapai 422 pasien atau naik 200 persen dari saat dibuka.