REPUBLIKA.CO.ID,BOGOR--Direktur "Recognition and Mentoring Program" (RAMP) Institut Pertanian Bogor Dr Aji Hermawan mengemukakan kemubaziran penelitian di Indonesia jumlahnya cukup besar.
"Dalam artian, hasil penelitian yang cukup banyak itu belum atau tidak termanfaatkan," katanya dalam diskusi dengan jurnalis di Bogor, Jawa Barat, Ahad.
RAMP-IPB bersama Departemen Teknologi Industri Pertanian (TIN) Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta) IPB serta Asosiasi Agroindustri Indonesia selama dua hari (18-19/2) 2013 akan menyelenggarakan Konferensi Nasional Inovasi dan Technopreneurship.
Konferensi itu akan mengundang Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri BUMN Dahlan Iskan, selain 50 pakar, peneliti terkemuka, serta inovator unggul se-Indonesia sebagai narasumber.
Secara lebih rinci, ia menjelaskan bahwa kemubaziran penelitian itu terkait hasil penelitian berbasis teknologi seringkali tidak mudah diaplikasikan. Di antaranya, kata dia, tidak jarang apa yang diteliti tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga tidak "nyambung".
Sisi yang lain, kata dia, adalah pada konteks perilaku dunia usaha atau pelaku bisnis di Indonesia yang lebih senang untuk mengadopsi bahkan mendatangkan teknologi dari luar negeri, ketimbang memberikan apresiasi dan dukungan pada hasil inovasi dan teknologi para peneliti sendiri.
"Akibatnya, hingga kini memang belum banyak inovasi dan teknologi yang dilahirkan anak bangsa dapat dimanfaatkan di dalam negeri," katanya.
Aji Hermawan mengakui memang tidak mudah mengatasi melimpahnya hasil riset yang telah dihasilkan para peneliti di Tanah Air, meski berbagai upaya telah dilakukan.
Ia menjelaskan di antara ikhtiar yang pernah dilakukan adalah lahirnya Pusat Inovasi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek). "Namun, sayangnya juga belum optimal bisa mengawal hasil riset yang berlimpah itu," katanya,
Menjawab pertanyaan mengenai solusi atas kondisi tersebut, ia mengatakan bahwa yang dibutuhkan adalah memperkuat organisasi, yang bisa mengkoordinasikan lembaga-lembaga penelitian yang ada. "Mandat itu secara teknis memang ada di Kementerian Riset dan Teknologi (Ristek)," katanya.
Setelah organisasi diperkuat, kata dia, barulah melangkah pada bagaimana mengelola "human capital", yakni para peneliti di seluruh Indonesia, sehingga mampu menjadi kekuatan dalam rangka membangun para "technopreneur" handal.
Ia mengatakan dalam konteks membangun dan memperluas penguatan organisasi dimaksud, maka konferensi yang digagas itu juga akan membentuk "Asosiasi Inovasi dan Technopreneur Indonesia".
"Jadi, dengan ratusan pemangku kepentingan yang hadir, mulai dari pakar, peneliti terkemuka, serta inovator unggul se-Indonesia, maka asosiasi tersebut akan menjadi wadah berkumpul dan jejaring untuk saling berkomunikasi dan memperbarui inovasi yang muncul," demikian Aji Hermawan.