Jumat 11 Oct 2013 20:00 WIB

Dubes RI Untuk PBB: Unair Sebaiknya Buka Kajian Nuklir

Kampus Universitas Airlangga
Kampus Universitas Airlangga

REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA--Dubes RI untuk PBB, WTO, dan Organisasi Internasional berkedudukan di Jenewa, Triyono Wibowo menyarankan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang merupakan almamaternya untuk membentuk kajian hukum nuklir.

"Kalau negara lain akan mengembangkan nuklir sudah diprotes internasional, tapi Indonesia belum berbuat sudah didukung untuk mengembangkan teknologi nuklir itu, karena itu Unair harus memanfaatkan hal itu," kata alumni FH Unair pada 1980 itu di Rektorat Unair Surabaya, Jumat.

Di sela-sela persiapan pengukuhan gelar Doktor Honoris Causa (Dr HC) bidang Ilmu Hukum pada 12 Oktober 2013, ia menjelaskan Indonesia sudah memiliki sejumlah pakar nuklir yang melakukan riset di Yogyakarta, Bandung, dan Serpong sejak tahun 1964.

"Jadi, soal kepakaran, kita sudah cukup, tinggal aplikasi saja yang menunggu sikap pemerintah. Yang jelas kebutuhan energi akan mengalami kenaikan pada tahun 2013, bahkan cadangan minyak dunia tinggal 4 miliar barel yang akan habis dalam 12 tahun lagi (2025)," katanya.

Oleh karena itu, kebutuhan akan energi terbarukan pada tahun-tahun mendatang sudah tak bisa ditawar lagi, baik energi angin, air, panas bumi, maupun nuklir, apalagi iptek nuklir itu memiliki tiga manfaat penting yakni penyediaan energi, pangan, dan antisipasi dampak perubahan iklim.

"Energi nuklir akan menjadi keniscayaan untuk pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya untuk kesejahteraan manusia, karena nuklir mampu memenuhi kebutuhan kita akan energi dan pangan. Misalnya, Batan sudah mampu membuat bibit unggul kedelai dengan hasil produksi 2,2 ton hingga 3 ton perhektare, sekarang hanya mampu 1,3 ton/hektare," katanya.

Apalagi, Indonesia sekarang "dikepung" kawasan dengan 45 reaktor nuklir baru yakni Cina berencana membangun 29 reaktor nuklir, Jepang dua reaktor, India tujuh reaktor, Korea empat reaktor, Vietnam tiga reaktor, dan Malaysia satu reaktor.

"Padahal Cina, India, Jepang, dan Korea sudah memiliki reaktor lama, karena itu Indonesia sudah layak mengembangkan iptek nuklir. Untuk itu, perlu adanya hukum nuklir agar pengembangan iptek nuklir sesuatu ketentuan yang ketat," katanya.

Pemerharti hukum nuklir sejak tahun 1984 itu menambahkan hukum nuklir itu sangat penting untuk menghindari aplikasi nuklir yang berisiko, sehingga aplikasi nuklir akan sesuai aturan main menjadi bermanfaat.

"Misalnya, Filipina sudah punya PLTN sejak tahun 2007, tapi aplikasi belum ada, karena Badan Nuklir Dunia mempersoalkan safety dan korupsi di seputar proyek itu yang justru akan membahayakan. Informasi terakhir, operasional PLTN Filipina diizinkan pada 2018," katanya.

Menanggapui hal itu, Ketua Pusat Informasi dan Humas (PIH) Unair Surabaya Dr M.G. Bagus Ani Putra S.Psi mengatakan Rektor Unair Prof HA Fasich Apt sudah berencana membentuk pusat kajian nuklir yang bersifat lintas fakultas.

sumber : antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement