REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Tim mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta meneliti kayu secang (Caesalpinia sappan L) yang bisa dimanfaatkan sebagai agen antiosteoporosis non-genoktosik pada wanita menopause.
"Hasil penelitian kami memperlihatkan pemanfaatan kayu secang sebagai kearifan lokal asli Indonesia bisa dijadikan solusi mengatasi osteoporosis pada wanita 'post-menstrual' yang efektif dan aman," kata koordinator tim Bani Adlina Shabrina di Yogyakarta.
Menurut dia, kayu secang mengandung flavonoid sebagai agen antiosteoporosis yang aman dikonsumsi. Meskipun masih sebatas penelitian secara "in vivo" dengan menggunakan hewan tikus sebagai hewan uji diharapkan pemanfaatan kayu secang nanti bisa diproduksi secara massal sebagai obat antiosteoporosis.
"Secang sudah dikenal sejak lama di Indonesia. Di Aceh disebut seupeueng, Minangkabau menyebutnya lacang, di Jawa dan Sunda disebut secang, dan berbagai wilayah lainnya yang memiliki julukan masing-masing," katanya.
Ia mengatakan secara karakteristik, tanaman itu bisa tumbuh di ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Tanaman itu termasuk tanaman liar, masyarakat bahkan menanamnya sebagai pagar pada halaman rumah atau kebun.
"Tinggi pohon secang bisa mencapai 10 meter. Tanaman yang mudah ditemukan di Indonesia itu termasuk tanaman perdu dengan batang berbentuk bulat dan berukuran sedang," katanya.
Menurut dia, daun secang memiliki bentuk majemuk dengan panjang 40 cm dan mirip seperti daun petai cina dan kulit kayunya dapat mengeluarkan cairan kemerahan. Rasa secang sedikit asam dan segar.
"Untuk 'wedang' atau minuman biasanya dibuat dengan menambahkan kapulaga dan jahe merah. Rasa hangat akan dirasakan tubuh setelah meminum 'wedang' secang," katanya.
Anggota tim mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang melakukan penelitian berjudul "Pengembangan Kayu Secang (Caesalpinia sappan L) Sebagai Agen Antiosteoporosis yang Non-Genoktosik pada Wanita Post-Menstrual" itu adalah Raisatun Nisa Sugiyanto dan Prisnu Tirtanirmala.