REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sistem penerbitan Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN) yang dikelola Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dinilai bermasalah. Dalam NIDN banyak dosen yang dicantumkan bergelar doktor padahal di lapangan masih berijazah sarjana atau master.
Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Idrus Paturusi mengatakan, kalau ada dosen yang gelarnya masih sarjana atau master namun di NIDN gelarnya disebut doktor itu tidak benar. “Kalau belum S3 itu di NIDN tidak bisa diberi gelar doktor,” katanya, Rabu, (5/2).
Namun, ujar Idrus, bisa jadi saat dosen mendaftar NIDN, ia sudah menjadi kandidat doktor, dalam proses menempuh S3. Kalau sudah kandidat doktor sebulan lagi, namun hanya memasukkan gelar master atau S2, maka ia merasa rugi.
“Makanya data NIDN harus ditelusuri ulang untuk mengecek apakah benar dosen yang gelarnya doktor di NIDN memang sudah berhasil menyelesaikan S3-nya. Sebab ada kemungkinan kandidat doktor memasukkan NIDN sebagai doktor saat itu sedang menempuh S3, makanya harus dicek, sudah benar-benar lulus atau tidak,” kata Idrus.
Para kandidat doktor, ujar Idrus, bisa jadi memasukkan gelarnya sebagai doktor saat menempuh S3 karena untuk mendongkrak akreditasi perguruan tingginya. Sebab akreditasi perguruan tinggi tergantung pengajarnya, semakin banyak yang lulusan S2 dan S3 maka akreditasinya semakin baik.
Perguruan tinggi, kata Idrus, tidak mungkin berani merekayasa gelar dosennya. Mereka tidak mungkin berani mendaftarkan dosennya dengan gelar doktor kalau tidak ada data yang nyata.
Lagi pula, ujar Idrus, dosen saat ini aturannya harus menempuh S2. Namun memang kalau ada dosen yang gelarnya S1 dan sudah terlanjur diterima sejak dulu, mereka harus tetap dihargai.