REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fernan Rahadi
Bagi Pandu Utama Manggala (27 tahun), berkesempatan menempuh kuliah di sebuah kampus bergengsi seperti The Australian National University (ANU), Canberra, bukan berarti waktu untuk bersenang-senang. Terbatasnya dana yang diberikan lembaga pemberi beasiswa membuat peraih beasiswa Australia Awards itu harus mencari akal untuk bertahan hidup selama dua tahun di Australia.
Maklum, harga kebutuhan-kebutuhan pokok di Canberra bisa berlipat-lipat dibandingkan harga di tanah air. Uang sebesar 10 dolar (sekitar Rp 100 ribu) bisa habis untuk sekali makan saja. "Oleh karena itu saya anggarkan 100 dolar saja dalam seminggu untuk makan," ujar Pandu saat ditemui Republika di Asian Bistro, salah satu kantin di ANU, Kamis (27/3) lalu.
Untuk bisa bertahan dengan cara seperti itu bukan perkara mudah. Apalagi Pandu datang ke Canberra membawa sang istri dan seorang anak. Dengan istri yang fokus mengasuh anak, ia pun terpaksa mencari nafkah di sela-sela kesibukannya kuliah S2 program MA International Relations di salah satu universitas terbaik di Australia itu.
Sudah sekitar satu setengah tahun terakhir Pandu bekerja sebagai pelayan di Food With Flair, sebuah restoran kecil di Canberra. Di tempat itu, ia dibayar 22 dolar (Rp 220 ribu) per jam. Dalam seminggu, rata-rata ia mendapatkan bayaran sebesar 200 dolar (Rp 2 juta). "Bayaran yang lumayan lah untuk seorang pelajar di sini," kata ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI)-Australian Capital Territory itu.
Pandu sudah bekerja di Food With Flair sejak tahun pertamanya di Australia tahun 2012 lalu. Diplomat muda dari Kementerian Luar Negeri RI itu tak merasa canggung. Ia pun kini sudah mahir membuat berbagai macam makanan ringan kesukaan orang-orang Australia seperti sandwich, salad, dan pie. "Jadi sedikit mengenal kuliner di sini," katanya.
Sebenarnya, jika ingin lebih banyak mendapatkan uang Pandu bisa memilih bekerja sebagai cleaning service. Apalagi jaringan orang-orang Indonesia yang bekerja sebagai tukang bersih-bersih itu sudah cukup kuat di Canberra. Sayangnya, jenis pekerjaan tersebut cukup menyita banyak waktu.
"Pekerjaan mereka sangat banyak. Saya pernah menjadi cleaning service di sebuah sekolah. Namun saat itu agak kesulitan membagi waktu dengan kuliah karena tiap hari rata-rata mesti mengalokasikan empat jam," tutur alumnus mahasiswa Universitas Indonesia (UI) itu.
Hal yang sama juga dilakukan Khoirun Nisa (19 tahun), mahasiswa S1 Development Studies and Corporate Sustainability di ANU. Ia mengambil jalan bekerja demi bertahan di tengah tingginya biaya hidup di Canberra. Saat ini, ia bekerja di salah satu restoran favorit di Canberra bernama Kingsley's Chicken.
Khoirun, begitu panggilannya, hanya memperoleh setengah beasiswa dari Beasiswa Unggulan Dikti. "Sehingga uang beasiswa hanya cukup untuk membiayai kuliah. Sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari saya harus memakai uang dari hasil bekerja," katanya.
Sementara itu, Rama Adityadarman (21 tahun), mahasiswa S1 Komunikasi di The University of Melbourne, mengaku awalnya niatnya bekerja hanya untuk mencari pengalaman saja. Akan tetapi semua berubah saat sang kakak, yang sebelumnya tinggal bersamanya, kembali ke Tanah Air. Kini, ia harus mencukupi kebutuhannya sendiri.
"Awalnya tujuannya cuma iseng-iseng saja sekaligus mencari pengalaman. Akan tetapi kini jika tidak bekerja maka saya tidak bisa membayar sewa apartemen, listrik, telepon, dan kebutuhan sehari-hari lainnya," ujar pemuda asal Yogyakarta itu.
Sejak 2010, Rama bekerja di Hungry Jack's, sebuah restoran makanan cepat saji di Melbourne. Di restoran yang merupakan franchise dari Burger King tersebut Rama digaji 18 dolar (sekitar Rp 180 ribu) per jam. Dengan satu shift bekerja selama lima jam, ia bisa memperoleh pendapatan mencapai 180 dolar (Rp 1,8 juta) dalam tiga hari bekerja.
"Namun tantangan bekerja paruh waktu di sini adalah bagaimana membagi waktu dengan kuliah. Selain itu bekerja di restoran bisa membuat capek secara fisik. Kalau sudah capek sepulang kerja, saya tidak bisa belajar lagi untuk kuliah keesokan harinya," tuturnya.