REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak delapan mahasiswa Univesitas 17 Agustus 1945 (Untag '45) Jakarta menggugat Rektor ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jumat (2/5). Gugatan tersebut didampingi LBH Jakarta
Delapan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Untag '45 Jakarta yang terkena skorsing selama enam semester atau maksimal pemecatan (drop out) itu adalah Mamat Suryadi, Zainudin Alamon, Ade Arqam Hidayat, Arnold Dedy Salam Mau, Patrisius Berek, Muhammad Sani, Alfi Wibowo, dan Muhammad Rahmansyah.
Dalam gugatannya, LBH menyatakan, para mahasiswa tidak sepantasnya diberikan sanksi secara arogan hanya karena menggelar unjuk rasa. Apalagi, aksi tersebut merupakan hal yang bisa dalam negara demokrasi.
"Terlebih, hal ini dilakukan oleh mahasiswa, para 'intelektual muda' yang selalu gelisah melihat lingkungannya," kata Pengacara Publik LBH Jakarta Nelson Nelson Nikodemus Simamora dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.
Para mahasiswa dikenakan sanksi berdasarkan Surat Keputusan (SK) Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Nomor: 03/SK-REK/SM/II/2014 tentang Penerapan Sanksi Akademis bagi Mahasiswa Fakultas ISIP Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta tertanggal 3 Februari 2014 tersebut merupakan dampak atas aksi unjuk rasa pada 19-20 Desember 2013 yang lalu.
Delapan mahasiswa tersebut melakukan aksi unjuk rasa menentang pembubaran seluruh organisasi kemahasiswaan oleh Yayasan yang didukung oleh Rektor UNTAG ’45 Jakarta.
Hal ini terjadi karena Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), baik di tingkatan Universitas maupun Fakultas, Senat Mahasiswa Fakultas, Himpunan Mahasiswa Jurusan, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), Pecinta Alam Untag '45 Jakarta (PATAGA), Resimen Mahasiswa, dan Unit Kegiatan Mahasiswa di bidang seni dan teater habis diberangus dan sekarang tidak aktif lagi.
Selain itu, hampir seluruh hal yang berhubungan dengan mahasiswa 'diuangkan', misalnya pungutan atas ujian susulan sebesar Rp. 200 ribu dan apabila mahasiswa terlambat membayar uang kuliah dikenakan denda Rp. 25 ribu.
"Hal ini sangat memberatkan, padahal, mahasiswa di kampus ini rata-rata berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah," katanya lagi.
Dalam gugatan, LBH Jakarta mendalilkan Rektor Untag 1945 Jakarta sebagai Pejabat Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN. SK Rektor tersebut juga didalilkan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 undang-undang yang sama.
Selain itu ada beberapa yuresprudensi yang dapat dijadikan alas yakni putusan Mahkamah Agung No. 210K/TUN/2001, putusan MA No. 61K/TUN/1999. "Sehingga gugatan ini dapat diterima, diperiksa, dan diadili oleh Majelis Hakim pada PTUN Jakarta," katanya.
Tak lupa Nelson juga mendesak Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta agar segera mencabut sanksi akademis terhadap keenam mahasiswanya.
Ia juga mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) agar segera turun tangan menangani pemecatan, skorsing dan pemberangusan organisasi mahasiswa. "Mahasiswa Sejabodetabek agar dapat menunjukkan solidaritas dalam kasus ini," katanya.
Sementara itu Alumni Untag Jakarta angkatan 1999, Gigih Sari Alam, menyesalkan sikap Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta yang secara sepihak menerapkan sanksi DO dan skorsing pada mahasiswa yang melakukan aksi dengan damai dan tidak anarkhis.
"Pengelola Untag sekarang sudah bertindak otoriter dan bergeser dari visi misi founding fathers (pendiri) Untag yang didirikan oleh tokoh-tokoh Nasionalis," katanya menegaskan.