Senin 26 May 2014 02:30 WIB

Aptisi: Hapus Penyeragaman Kebijakan Pendidikan Tinggi

 Edy Suandi Hamid
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Edy Suandi Hamid

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Penyeragaman kebijakan pendidikan tinggi harus ditinjau ulang karena tidak mencerminkan keadilan, kata Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Edy Suandi Hamid.

"Penyeragaman kebijakan tersebut terbukti merugikan dan menimbulkan ketidakadilan bagi daerah-daerah yang masih belum maju pendidikannya dan terbatas kondisinya seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, dan daerah luar Jawa lainnya," katanya di Yogyakarta, Minggu.

Menurut dia, salah satu contoh penyeragaman kebijakan adalah beasiswa Bidikmisi yang hanya ditujukan untuk program studi terakreditasi A di Jawa dan B di luar Jawa.

Kebijakan itu, kata dia, akan mempersulit perguruan tinggi swasta (PTS), dan bahkan perguruan tinggi negeri (PTN) di Papua yang sebagian besar masih terakreditasi C.

"Apakah hal itu berarti orang miskin di Papua tidak dapat memperoleh Bidikmisi?," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu.

Selain itu, kebijakan batas usia dosen yang menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan maksimal 50 tahun untuk mendapatkan Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN).

"Kebijakan itu menyulitkan PTS luar Jawa di mana sumber daya manusia daerah yang berkualifikasi strata dua (S-2) sangat terbatas," kata mantan Rektor UII itu.

Ia mengatakan mereka yang S-2 dan ingin memulai karir sebagai dosen yang diperhitungkan dalam rasio dosen-mahasiswa menjadi tidak bisa. Akibatnya, rasio dosen-mahasiswa semakin timpang, dan membuat PTS dikategorikan "bermasalah".

"Oleh karena itu kami berharap kebijakan yang bersifat penyeragaman seperti itu harus ditinjau ulang. Kebijakan pendidikan tinggi harus betul-betul membumi dan melihat fakta lapangan," katanya.

sumber : antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement