REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perguruan tinggi merupakan "organ" penting dalam perjuangan bersama masyarakat untuk melakukan pengendalian penggunaan tembakau di satu negara, kata seorang ahli kesehatan.
"Perguruan tinggi seharusnya bertugas membantu Kementerian Kesehatan dalam pengendalian tembakau. Perguruan tinggi 'organ' penting untuk pembatasan tembakau," kata Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Adang Bachtiar dalam Workshop Penguatan Perguruan Tinggi dalam Pengendalian Tembakau di Jakarta, Kamis.
Perguruan tinggi, lanjutnya, dapat membagi pengetahuan kepada publik, berinteraksi langsung dengan masyarakat sehingga tidak hanya menjadi menara gading. "Perguruan tinggi dapat bekerja sama dengan siapa saja dalam upaya pengendalian tembakau," katanya.
Penggunaan tembakau menjadi masalah utama kesehatan masyarakat dunia, karena penggunaan yang masif di seluruh dunia.
Artinya, ia mengatakan perlu "international responsibility" untuk mengatasinya, dan terimplementasi di tingkat nasional hingga daerah di satu negara.
Upaya pembatasan tembakau, lanjutnya, dapat dilakukan melalui "low political afford", yang selain dilakukan dalam masyarakat juga dilakukan oleh perguruan tinggi.
"Contohnya saja mahasiswa Universitas Hasanuddin yang memiliki kesepakatan dengan mahasiswa untuk tidak merokok agar dapat diterima. Jika diketahui mahasiswa merokok maka dikeluarkan," ujar dia.
Hal serupa, menurut dia, seharusnya juga sudah dapat dimulai di perguruan tinggi lain. "Mungkin bisa dimulai dengan mahasiswa kesehatan," katanya.
Merokok belum dibatasi secara luas di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2012, 61,4 juta atau 36,1 persen dari seluruh orang dewasa Indonesia (67,4 persen pria dan 4,5 persen wanita) saat ini mengkonsumsi tembakau.
Sedangkan di antara kalangan muda berusia 13--15 tahun 20 persen merokok (anak laki-laki 41 persen, perempuan 3,5 persen). Hampir 80 persen perokok mulai kebiasaan merokok sebelum usia 19 tahun.
Hal menyedihkan lain adalah 97 juta nonperokok di Indonesia, termasuk 70 persen dari anak-anak berusia kurang dari 15 tahun, secara teratur terpapar Asap Rokok Orang Lain (AROL).