Kamis 04 Sep 2014 19:16 WIB

Unair Kukuhkan Guru Besar Sastra yang Pertama

Red: Taufik Rachman
Kampus Universitas Airlangga
Kampus Universitas Airlangga

REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA--Universitas Airlangga Surabaya akan memiliki guru besar dalam bidang Ilmu Sastra yang pertama yakni Prof Dr Drs Ida Bagus Putera Manuaba M.Hum dari Fakultas Ilmu Budaya Unair.

"Saya hanya ingin menyemangati teman-teman, karena saya menempuh S3 (doktor) juga ibarat 'pecah telur' hingga akhirnya banyak teman-teman dari FIB yang mengambil program doktor," kata Ida Bagus Putera Manuaba di Rektorat Unair Surabaya, Kamis.

Dosen FIB Unair yang kelahiran Tabanan, Bali, itu, mengaku dirinya juga serasa tidak percaya saat mengajukan permohonan menjadi guru besar pada awal Mei 2014, tapi surat keputusan (SK) Mendikbud langsung keluar pada minggu ketiga bulan Mei 2014.

"Mungkin, saya menjadi guru besar tercepat, karena itu saya berharap teman-teman juga mengikuti jejak saya, meski tidak harus cepat," kata alumnus S1 Udayana Denpasar, S2 UGM Yogyakarta, dan S3 Unair Surabaya itu sambil tersenyum.

Guru besar yang dikukuhkan pada Sabtu (6/9) bersama Prof Ir Moch Amin Alamsjah MSi PhD (Fakultas Perikanan dan Kelautan Unair) itu, akan menyampaikan pidato bertajuk "Eksotisme Sastra; Eksistensi dan Fungsi Sastra dalam Membangun Karakter dan Perubahan Sosial".

"Sastra memang belum eksis dalam masyarakat, tapi bisa dikembangkan dengan membudayakan membaca dan menulis. Kalau rajin membaca karya sastra akan mempengaruhi karakter dan akhirnya mewarnai perubahan sosial," katanya.

Guru besar ke-423 di Unair itu mencontohkan novel "Siti Nurbaya" (karya Marah Rusli) atau novel "Para Priyayi" (karya Umar Kayam) yang berpengaruh terhadap perubahan sosial dalam jangka panjang.

"Tanpa terasa, novel Siti Nurbaya mengubah pandangan orang terhadap perempuan dan begitu juga novel Para Priyayi pun mengubah pandangan orang terhadap priyayi. Awalnya, priyayi dianggap selalu dari garis keturunan, tapi priyayi yang substantif adalah perilaku," katanya.

Suami dari Raden Roro Listijari Lindriani dan ayah dari dua gadis (Ida Ayu Sinta Saraswati dan Ida Ayu Laksmi Paramitha) itu pun mengembangkan Sosiologi Sastra di FIB Unair Surabaya.

"Selama ini, kajian sastra hanya bersifat kanom (karya sastra serius), tapi dengan Sosiologi Sastra mengajarkan bahwa kajian sastra itu untuk semua jenis karya sastra, karena karya sastra itu tidak dibatasi dengan 'kasta', bahkan mitos juga karya sastra," katanya.

Dalam kesempatan itu, ia menyatakan dirinya pernah melakukan riset tentang mitos "Mbah Cungking" di kawasan Hutan Baluran, ternyata mitos itu justru membuat Hutan Baluran menjadi lestari dibandingkan dengan hutan-hutan di Kalimantan. "Mitos Mbah Cungking membuat masyarakat melihat Hutan Baluran sebagai sahabat," katanya.

Contoh lain adalah "kasta" di Bali yang dipahami masyarakat secara vertikal, padahal kasta di Bali itu bersifat horisontal. "Misalnya, kasta Brahmana itu bukan posisi tertinggi, melainkan kasta Brahmana lebih merujuk pada profesi ilmuwan pada universitas atau ulama pada masyarakat Jawa. Artinya, Brahmana jangan berperilaku Sudra," katanya.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Kelautan Unair Prof Ir Moch Amin Alamsjah MSi PhD menilai posisi Indonesia sebagai produsen terbesar dalam rumput laut masih bersifat rumput kering, sehingga nilai tambahnya sangat jauh.

"Kita masih kalah dengan negara-negara yang justru tidak memiliki rumput laut seperti Jepang, Amerika, atau Eropa, bahkan devisa mereka dengan kita itu berbanding 1:100, karena itu kita harus membangun industri rumput laut dari hulu ke hilir dengan Bioteknologi. Kita bisa mengajak kerja sama investor asing untuk alih teknologi, tentu harus sesuai dengan persyaratan kita," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement