REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA--Perubahan status 12 perguruan tinggi swasta menjadi negeri disinyalir hanya membebani anggaran pendapatan dan belanja negara setiap tahunnya.
"Hal itu memang tidak masalah demi mencerdaskan anak bangsa. Namun masalahnya adalah apakah hal itu merupakan pilihan terbaik dan optimal?" kata Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Edy Suandi Hamid, Kamis (16/10).
Daripada dana tersebut digunakan untuk mengganti penguatan ribuan perguruan tinggi swasta (PTS) yang ada. Perubahan status PTS menjadi negeri, ungkap Edy, seharusnya didasari kriteria yang jelas. Misalnya, untuk daerah-daerah atau provinsi yang belum ada perguruan tinggi negeri (PTN).
Sayangnya, dari 12 PTS yang dinegerikan itu sebagian besar berada di Pulau Jawa. Bahkan juga diterapkan pada PTS di kota besar yang memiliki beberapa PTN. Serta akses masyarakatnya mudah untuk kuliah seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Medan.
"Oleh karena itu, kami prihatin dengan penegerian 12 PTS baru-baru ini," kata mantan rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu.
Aptisi lebih mendukung penegerian atau pendirian PTN di daerah-daerah perbatasan.
"Hal itu lebih realistis karena bisa membangun daerah perbatasan yang selama ini dianggap inferior, sekaligus menjadi basis penguatan ekonomi sosial politik wilayah perbatasan tersebut," kata Edy.