REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Sedikitnya 12 ribu mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) Malang, Jawa Timur, akan "diungsikan" ke kampus di kawasan Dieng guna mengurangi kepadatan di kampus utama yang di Dinoyo.
Rektor UB Malang Prof Dr Mohammad Bisri di Malang, Selasa (6/1) mengemukakan belasan ribu mahasiswa itu akan dibuatkan gedung baru sebagai gedung kuliah bersama (GKB) di kawasan Dieng, sehingga kepadatan jumlah mahasiswa di kampus utama bisa dikurangi.
"Pengembangan kampus di kawasan Dieng itu nanti rencananya dibangun di atas lahan seluas 8 hektare dengan sembilan lantai. Perkiraanya, gedung sembilan lantai itu nanti mampu menampung sekitar 12 orang mahasiswa," katanya.
Gedung kuliah ini rencananya digunakan untuk Fakultas Kedokteran Hewan serta vokasi yang jumlah mahasiswanya mencapai puluhan ribu. Dengan pembangunan kampus baru di Dieng tersebut, diharapkan program "green campus" dengan mengurangi mahasiswa pengguna sepeda motor masuk kampus utama bisa terealisasi.
Berdasarkan estimasi, biaya pembangunan gedung berlantai sembilan di atas lahan seluas delapan hektare itu mencapai Rp 60 miliar. Hanya saja, estimasi biaya itu masih akan dikalkulasi lagi disesuaikan dengan perkembangan di lapangan.
"Pemanfaatan lahan seluas 8 hektare di kawasan Dieng ini merupakan bagian dari langkah kami untuk menjalankan program dan strategi pembangunan sumber daya, sehingga ke depan UB mampu bersaing dan bisa menjadi kampus unggulan di di level Asia. Dengan demikian, jalan untuk mensejajarkan UB dengan kampus-kampus berkualitas dan berkelas dunia juga semakin terbuka," tegasnya.
Hanya saja, lanjutnya, meski nantinya mampu mengurangi kepadatan jumlah mahasiswa di kampus utama, dirinya tidak bisa menjamin apakah kepadatan arus lalu lintas di area kampus, termasuk jalan-jalan protokol yang melingkari UB bisa berkurang karena kultur masyarakat sekarang ini enggan menggunakan kendaraan umum.
Bisri menceritakan pengalamannya saat berkunjung ke Jepang sebagai Rektor UB satu tahun lalu. Saat ini, dirinya berjalan kaki sepanjang satu kilometer sebelum sampai di ruang yang dituju dan hal tersebut dianggap biasa oleh para dosen dan mahasiswa di negeri itu, bahkan mereka juga terbiasa menggunakan kendaraan umum.
"Berbeda dengan di sini, mahasiswa justru bisa membawa kendaraan ke kampus. Mereka parkir di mana saja, bahkan kalau bisa parkirnya itu di sebelah kelas mereka, padahal permasalahan lalu lintas dan kapasitas lahan parkir di kampus ini tidak akan teratasi kalau kultur seperti ini tidak diubah," tegasnya.