REPUBLIKA.CO.ID,JATINANGOR -- Konflik antara institusi Kepolisian Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), telah beberapa kali terjadi. Bahkan, setiap konflik itu terjadi, memberi dampak yang cukup luas dalam perpolitikan Indonesia. Masing-masing pihak dan pendukungnya memegang dasar argumentasi yang mengacu pada kewenangan institusi yang dijamin oleh hukum.
Baik Polri maupun KPK merupakan institusi yang memiliki wewenang melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Untuk KPK yang khusus bertugas di area tindak pidana korupsi ditambah dengan wewenang penuntutan. Selain Polri dan KPK, ada pula kejaksaan yang memiliki wewenang penyidikan dan penuntutan tindak pidana. Selintas, ada potensi konflik kewenangan antara ketiga institusi tersebut.
Yang terjadi terakhir, buntut dari penetapan status ‘tersangka’ bagi calon tunggal Kapolri oleh KPK. Bukan hanya beraroma benturan kewenangan antara Polri dan KPK, tapi juga penggunaan kewenangan untuk kepentingan masing-masing institusi.
KPK dituding menggunakan wewenangnya untuk menjegal calon tunggal Kapolri. Dan Polri, dituding menggunakan wewenangnya untuk melemahkan pimpinan KPK. Kedua pihak ini membawa dasar hukumnya masing-masing. Masyarakat pun melihat ada pelanggaran etika yang dilakukan baik oleh pihak KPK maupun Polri.
Seperti apa sebenarnya dasar hukum kewenangan bagi institusi Polri, KPK, dan Kejaksaan? Benarkah ‘gesekan’ kewenangan yang dikandung aparat penegak hukum RI itu membuat mereka rentan terhadap konflik? Langkah politik apa yang bisa dilakukan ketika benturan itu terjadi dan langkah politik apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki ‘gesekan’ kewenangan jika memang ada?
Untuk membahas hal tersebut, Universitas Padjadjaran mengadakan kegiatan ‘Unpad Merespons’ bertema “Mencari Akar Konflik Polri versus KPK dan Solusinya” pada: Rabu (25/2) pukul 08.30 WIB – 12.00 WIB bertempat do Executive Lounge, Lantai 2 Gedung Rektorat Unpad, J. Dipati Ukur No. 35 Bandung.
Adapun narasumber yang hadir dalam ‘Unpad Merespons’ ini adalah Prof Bagir Manan (Guru Besar Emeritus Hukum Pidana Unpad) dan Prof Budiman Rusli (Guru Besar Administrasi Negara FISIP Unpad).