REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pendidikan jasmani masih dianggap sebagai mata pelajaran sekunder, sehingga sering tersingkir dalam perkembangan wacana keilmuan Indonesia. Hal ini diungkapkan peneliti Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta Muhammad Hamid Anwar.
"Kajian-kajian pada ruang keilmuan pendidikan jasmani relatif sulit untuk ditemukan dalam konteks keindonesiaan," katanya saat memaparkan disertasinya di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Rabu (9/4).
Menurut dia, dari berbagai sumber jika dirunut, baik berupa hasil penelitian, jurnal maupun buku referensi atau buku ajar yang ada, memang seolah menempatkan pendidikan jasmani pada ranah relatif sempit, yakni pada wilayah biologis dan mekanika fisik belaka.
"Pendidikan jasmani dalam segenap definisinya merupakan bagian integral dari pendidikan keseluruhan. Meskipun demikian, dalam realitas pendidikan jasmani sering tersingkir dalam perkembangan wacana keilmuan Indonesia," katanya.
Ia mengatakan kenyataan seperti itu tentu bukan kebetulan belaka karena menyitir apa yang diungkap Foucault, bahwa segala bentuk eksistensi yang hadir tidak pernah bisa dilepaskan dari berbagai pengaruh kuasa yang mengelilinginya.
"Demikian pula dengan pendidikan jasmani di Indonesia. Keberadaan pendidikan jasmani di Indonesia dengan segala kekurangan dan kelebihannya merupakan bentukan relasi nalar-nalar kuasa yang berkembang setiap zaman," katanya.
Menurut dia, wacana pendidikan jasmani ditinjau arkeo-genealogi dapat dikelompokkan dalam tiga periode yakni periode pra-kemerdekaan, periode Orde Baru-Orde Lama, dan periode Orde Reformasi.
"Setiap periode memiliki rezim kuasanya sendiri, yakni orientalisme, fungsionalisme, pragmatisme, positivisme, feminisme, dan kapitalisme-liberalisme," kata dosen FIK UNY itu.
Ia mengatakan beragam relasi kuasa-kuasa nyatanya lebih banyak berimplikasi negatif terhadap praktik pendidikan jasmani pada konteks kekinian di Indonesia, seperti misinterpretasi terhadap hakikat pendidikan jasmani dan marjinalisasi pendidikan jasmani.
"Oleh karena itu, saya berharap disertasi ini bisa menjadi salah satu dasar untuk melakukan refleksi lebih lanjut dengan kajian lebih mendasar dan komprehensif sehingga secara filosofis keilmuan pendidikan jasmani akan memiliki struktur yang lebih kuat," katanya.