Kamis 09 Apr 2015 01:40 WIB

Pendidikan Jasmani Masih Dianggap Sekunder

Universitas Negeri Yogyakarta
Foto: uny.ac.id
Universitas Negeri Yogyakarta

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA --  Pendidikan jasmani masih dianggap sebagai mata pelajaran sekunder, sehingga sering tersingkir dalam perkembangan wacana keilmuan Indonesia. Hal ini diungkapkan peneliti Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta Muhammad Hamid Anwar.

"Kajian-kajian pada ruang keilmuan pendidikan jasmani relatif sulit untuk ditemukan dalam konteks keindonesiaan," katanya saat memaparkan disertasinya di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Rabu (9/4).

Menurut dia, dari berbagai sumber jika dirunut, baik berupa hasil penelitian, jurnal maupun buku referensi atau buku ajar yang ada, memang seolah menempatkan pendidikan jasmani pada ranah relatif sempit, yakni pada wilayah biologis dan mekanika fisik belaka.

"Pendidikan jasmani dalam segenap definisinya merupakan bagian integral dari pendidikan keseluruhan. Meskipun demikian, dalam realitas pendidikan jasmani sering tersingkir dalam perkembangan wacana keilmuan Indonesia," katanya.

Ia mengatakan kenyataan seperti itu tentu bukan kebetulan belaka karena menyitir apa yang diungkap Foucault, bahwa segala bentuk eksistensi yang hadir tidak pernah bisa dilepaskan dari berbagai pengaruh kuasa yang mengelilinginya.

"Demikian pula dengan pendidikan jasmani di Indonesia. Keberadaan pendidikan jasmani di Indonesia dengan segala kekurangan dan kelebihannya merupakan bentukan relasi nalar-nalar kuasa yang berkembang setiap zaman," katanya.

Menurut dia, wacana pendidikan jasmani ditinjau arkeo-genealogi dapat dikelompokkan dalam tiga periode yakni periode pra-kemerdekaan, periode Orde Baru-Orde Lama, dan periode Orde Reformasi.

"Setiap periode memiliki rezim kuasanya sendiri, yakni orientalisme, fungsionalisme, pragmatisme, positivisme, feminisme, dan kapitalisme-liberalisme," kata dosen FIK UNY itu.

Ia mengatakan beragam relasi kuasa-kuasa nyatanya lebih banyak berimplikasi negatif terhadap praktik pendidikan jasmani pada konteks kekinian di Indonesia, seperti misinterpretasi terhadap hakikat pendidikan jasmani dan marjinalisasi pendidikan jasmani.

"Oleh karena itu, saya berharap disertasi ini bisa menjadi salah satu dasar untuk melakukan refleksi lebih lanjut dengan kajian lebih mendasar dan komprehensif sehingga secara filosofis keilmuan pendidikan jasmani akan memiliki struktur yang lebih kuat," katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement