REPUBLIKA.CO.ID, JATINANGOR -- Di Era reformasi yang disertai penguatan demokrasi dan HAM, konflik agraria cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan kecenderungan konflik agrarian itu bahkan diikuti oleh tindakan kekerasan hingga menyebabkan penghilangan nyawa.
Banyak diketahui, konflik agraria pada umumnya disebabkan oleh empat hal mendasar. Yaitu masih digunakannya pendekatan kekerasan dan keamanan dalam menyelesaikan konflik, kekuatan perlawanan rakyat sudah tumbuh secara signifikan seiring berkembangnya demokrasi di era reformasi, tidak adanya platform dari pemerintah dalam menangani konflik agrarian, serta tidak konsistennnya pelaksanaan agenda reformasi agraria.
Konflik agraria tidak hanya menyangkut masalah kepemilikan lahan, tapi juga berkaitan dengan pengelolaan sumber kekayaan alam yang didalamnya terkait erat dengan urusan pertanian, kehutanan, pertambangan dan kelautan. Munculnya konflik agararia dirasakan karena adanya ketidakadilan dalam hal penguasaan dan pengelolaan tanah dimana lebih banyak terakumulasi pada pemilik modal daripada untuk kesejahteraan masyarakat. Selain itu, adanya kebijakan yang tumpang tindih terkait izin pemanfaatan ruang dalam suatu lokasi di daerah.
Bahkan fungsi eksisting ruang seringkali tidak sesuai dengan fungsi peruntukkan yang sudah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) sehingga menimbulkan konflik agraria. Di daerah perkotaan, bahkan sering dijumpai ketidaktertiban dalam penatagunaan tanah berdasarkan Tata Ruang Wilayah. Akhirnya, pembangunan di perkotaan menjadi tidak tertib dan tidak terkendali serta konflik kepentingan menjadi meningkat.
Selain itu, lemahnya konsekuensi hukum apabila terjadi pelanggaran kesepakatan penataan ruang meskipun sudah tertuang dalam peraturan daerah (perda). Konsekuensi hukum atas pelanggaran regulasi rencana tata ruang seringkali tidak diperlakukan secara ketat.
Atas dasar itulah, kata Kepala UPT Humas Unpad Soni A Nulhaqim, Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan IKA (Ikatan Alumni) Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Padjadjaran, menyelenggarakan kuliah umum bertajuk, ‘Kebijakan Agraria dan Penataan Ruang Di Indonesia Sekarang Ini, Dan Di Masa Yang Akan Datang’. Kuliah umum ini diselenggarakan pada Kamis (21/5) bertempat di Bale Sawala, Gedung Rektorat Unpad, Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21 Jatinangor daru pukul 09.00 WIB-12.00 WIB.
Terkait kasus konflik agrarian, pemerintah daerah cenderung menyerahkan pemanfaatan ruang kepada mekanisme pasar. Sehingga, tanah dianggap sebagai suatu komoditi ekonomi yang dapat dipermainkan oleh sekelompok orang yang memiliki kekuatan modal, bahkan dalam jumlah yang tidak terbatas.
Meskipun kebijakan agrarian sudah diterbitkan, pada implementasinya pengelolaan agraria melalui kewenangan pemerintah, belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini terlihat dengan masih banyaknya konflik sumber daya agraria terkait pertanian, pertambangan, perkebunan dan kehutanan.
Banyaknya sengketa agraria yang terjadi menunjukkan belum terlindunginya hak rakyat atas tanah. Akibat dari konflik ini, tidak sedikit masyarakat yang menjadi korban konflik, baik bentrokan antar warga, aparat maupun dengan korporat. Selain itu, korban bagi masyarakat miskin perkotaan yang semakin tersingkir menunjukkan tidak adanya keberpihakan pemerintah pada kesejahteraan masyarakat.
Kuliah Umum ini akan disampaikan oleh Ferry Mursyidan Baldan (Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia), dengan moderator Prof Samugyo Ibnu Redjo (Guru Besar Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad).
Acara akan dibuka oleh Bapak Prof. Dr. Med. Tri Hanggono, dr. (Rektor Universitas Padjadjaran), dan akan dihadiri Bapak Dr. H. Ahmad Heryawan, Lc (Gubernur Jawa Barat), beberapa Kepala Daerah, Bupati dan Walikota dari Provinsi Jawa Barat. Selain itu beberapa kalangan dari professional seperti, perwakilan dari Ikatan Notaris Indonesia dan juga NGO yang bergerak di bidang advokasi agraria seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), dan Serikat Petani Pansundan (SPP).