REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Jalur hukum pidana tidak niscaya memberantas keberadaan perguruan tinggi yang menyediakan ijazah asli tapi palsu (aspal). Sebuah gerakan moral masyarakat justru dinilai lebih ampuh mencegahnya.
“Polisi mau menindak apa alasannya? Misalnya mau ditutup apa alasannya? Polisi kan gak boleh nindak kalau gak ada komplain dari masyarakat,” ujar Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Brodjonegoro, Rabu (27/5).
Mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) ini berpendapat hukum pidana berlaku apabila terdapat masyarakat yang beli ijazah dan merasa tertipu. Satryo juga mengatakan keraguannya jika masalah ini diserahkan kepada kepolisian.
“Karena apa? Karena saya rasa polisi juga banyak yang beli. Nah, kalau Jokowi mau revolusi mental, ya mulai dari itu dulu,” seloroh Satryo.
Satryo berpendapat cara memangkas fenomena ini bukan dengan pidana, tapi melalui gerakan moral. Menurutnya, pemikiran masyarakat ihwal kebutuhan gelar untuk bekerja itu perlu dikurangi.
Keahlian, dinilainya, merupakan hal yang terpenting dibandingkan gelar dalam memperoleh pekerjaan. Selain itu, lanjut dia, para perusahaan juga harus mengedepankan keahlian daripada gelar saat merekrut pegawai.
Selain itu, Satryo juga menjelaskan saran lain untuk memangkas fenomena ini. Hal sederhana, kata dia, yakni penghilangan gelar pada kartu nama. Menurutnya, penggunaan gelar pada hal ini sangat mubazir dan tidak berguna juga.
Bahkan, tambah dia, orang sepopuler Obama pun tidak pernah memamerkan gelarnya ke dunia. “Meski begitu, pamornya tidak berkurang kan?” tegasnya.