REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG -- Tidak banyak pelaku industri yang mau mendukung dana untuk riset. Guru Besar Teknik Kimia ITB, I Gede Wenten menyatakan karakter pelaku industri di Indonesia yakni tidak mau mengambil risiko. Menurut dia, pebisnis Indonesia lebih senang berinvestasi pada sektor-sektor yang terbukti membawa keuntungan dan bisa terukur risikonya.
“Lihat saja pebisnis kita itu maunya bisnis di sektor valas atau properti. Dimana sektor itu lebih jelas dan resikonya lebih terukur,” ujar dia yang juga pakar bioteknologi membrane ini.
Bagi pelaku industri dunia riset sifatnya abstrak dan sulit untuk diukur keberhasilannya sehingga membuat investor enggan membiayai. Dia juga memaparkan saat ini juga ada misslink antara pelaku industri dan peneliti. Posisi Pelaku Industri berada di kutub kiri lalu peneliti berada di kutub kanan. Keduanya belum bertemu di titik tengah.
Wenten berharap ke depan para pebisnis juga lebih berani mendanai riset yang ada. Sebab baginya market atau pasar sebenarnya bisa dibentuk. “Indonesia ini kan pasar yang besar. Mestinya pelaku industri jangan takut untuk berinvestasi di dalam pendanaan riset,” ujar dia, Rabu (5/8).
Di sisi lain, pakar Nanoteknologi Indonesia, Nurul Taufiqo Rochman mengatakan kebanyakan peneliti di Indonesi belum melek dengan dunia industri. Inilah yang menyebabkan banyak hasil penelitian mereka tak dipakai oleh pelaku usaha.
Lulusan S3 Jepang ini menjelaskan kalau mestinya peneliti berpikirnya dibalik. Yakni hilir (Industri) ke hulu (peneliti). "Jadi logikanya masyarakat itu butuh apa. Dari sini barulah dilakukan penelitian," ujar dia.
Kalau sekarang, ungkapnya, justru terbalik logikanya. Pola pikirnya justru dari hulu ke hilir. Kalau seperti ini jelas tidak akan pernah aplikatif hasil penemuan yang dihasilkan. Dia berharap ke depan agar ada perubahan cara pandang peneliti saat ingin memulai proyeknya. Ini agar hasil penelitian bisa bernilai komersil. "Kalau sudah seperti ini saya yakin Indonesia ke depan teknologinya bisa lebih maju," jelas dia.