REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar menghadirkan sutradara asal Iran, Amir Masoud Soheili. Soheili hadir mengisi diskusi film pada Kuliah Tamu yang digelar di Aula Prof Syukur Abdullah, Selasa (12/4).
Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Unhas, Iqbal Sultan mengatakan dipilihnya sosok Amir Masoud Soheili untuk berbagi pengalaman bukan tanpa alasan. "Amir Masoud Soheili bukanlah seorang film maker yang berasal dari industri perfilman yang besar. Melainkan dia dari komunitas film. Karena itulah, kita berharap kehadirannya pada kuliah ini bisa memberi motivasi dan inspirasi bagi mahasiswa untuk menghasilkan karya yang hebat," ujar Iqbal dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Rabu (13/4).
Diskusi film di kampus Unhas itu mengangkat topik 'Film and Limitless Interpretation'. Topik tersebut dipilih mengingat film tidak pernah terlepas dari interpretasi yang dipengaruhi oleh struktur sosial, politik, dan budaya tanpa batas serta merestruktur dinamika kehidupan.
Iqbal mengatakan, tema Kuliah Tamu ini sangat strategis dalam membaca dan memahami film. Karena film tidak sekadar menampilkan realitas. "Film itu produk yang memadukan pengaruh emosional dan popularitas untuk menggerakkan perubahan. Saya berharap mahasiswa komunikasi bisa belajar banyak dari diskusi ini," kata Iqbal.
Dalam kesempatan itu, film besutan Soheili, Blue Eyed Boy diputar di hadapan lebih dari 100 peserta yang hadir. Blue Eyed Boy telah berhasil diputar di 106 festival film internasional dan masuk menjadi official selection pada 100 festival film internasional. Film ini telah mendapat 14 penghargaan internasional. Bahkan beberapa hari yang lalu, Blue Eyed Boy pun mendapat dua penghargaan, yakni satu di Amerika Serikat dan satu di Meksiko.
"Saya senang jika film saya mendapat penghargaan internasional. Tapi lebih senang jika karya saya ditonton dan diapresiasi banyak orang," ungkap Soheili.
Saat diskusi, dia menjelaskan pentingnya menghabiskan lebih banyak waktu untuk menghasilkan naskah yang baik daripada menghabiskan banyak waktu dan budget saat syuting. Soheili mengatakan, jika punya naskah yang bagus, maka cenderung akan menghasilkan karya yang bagus pula. "Karena kekuatan film terletak pada naskahnya, bukan pada kru, pemain, dan budget," ujarnya.
Pria kelahiran Mashhad, Iran, 1988 ini memaparkan pentingnya mengerjakan film berbasis komunitas daripada industri yang melibatkan profesional. Menurut dia, dalam komunitas, prinsip yang dibangun adalah berbagi dan berdiskusi. "Sedangkan dalam industri film, kita hanya bekerja, bukan berkarya. Prinsipnya dan hasilnya jelas berbeda," ujar Soheili saat menjawab pertanyaan peserta Kuliah Tamu.
Kuliah Tamu ini diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Komunikasi Fisip Unhas, bekerja sama dengan Kine Timur, sebuah sebuah lembaga film di Makassar yang berfokus pada apresiasi film. Selain dihadiri oleh akademisi dari Ilmu Komunikasi, Kuliah Tamu ini juga dihadiri oleh akademisi dari Fakultas Sastra, Administrasi, dan Pertelevisian. Turut hadir pula sejumlah pembuat film, mahasiswa, dan komunitas film.