REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Rektor Universitas Alma Ata (UAA) Yogyakarta, Prof Hamam Hadi, menandaskan jual beli jabatan kepala sekolah merupakan perbuatan yang menodai dunia pendidikan. Bahkan perbuatan ini menjadi preseden buruk bagi pengembangan pendidikan di Indonesia.
Ia mengemukakan hal itu pada pembukaan seminar ‘Pendidikan Karakter Wujudkan Generasi Emas Indonesia’ yang digelar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UAA di kompleks kantor Pemerintah Kabupaten Bantul, DIY, Kamis (5/1). Seminar yang diikuti kurang lebih 200 peserta juga menampilkan pembicara Dr Muqowim, dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Dr Ariswan, dosen Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Lebih lanjut Hamam mengemukakan memperjualbelikan jabatan sekolah sangat bertentangan dengan upaya pembangunan karakter bangsa melalui pendidikan. Selain itu, memperjualbelikan jabatan kepala sekolah bisa menjadi pintu kehancuran sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia.
Menurut Hamam, jika menjadi kepala sekolah harus membayar antara Rp 100 juta hingga Rp 200 juta, maka ketika menduduki jabatan kepala sekolah tidak memikirkan kemajuan sekolah. Kepala sekolah lebih fokus bagaimana cara mencari uang untuk mengembalikan uang Rp 200 juta.
“Buku yang seharusnya dibagikan gratis, siswa diminta untuk membayarnya. Tidak hanya satu kali, tetapi dua kali lipat dari harga di toko,” katanya, dalam siaran pers.
Selain itu, lanjut dia, kepala sekolah yang mendapatkan jabatan dengan membayar tidak ramah di dalam kelas. “Masuk kelas tidak lagi mengajak membaca al-Fatihah, tetapi bertanya siapa yang belum membayar SPP, uang seragam, dan lain-lain yang ujung-ujungnya memeras anak didik,” tegasnya.
Hamam mengharapkan agar Presiden Joko Widodo bersikap tegas untuk memberantas jual beli jabatan, termasuk jabatan kepala sekolah. Sehingga para kepala sekolah dan guru memiliki karakter yang tangguh. “Setiap guru harus bisa menjadi guru bangsa yang dicintai bangsanya,” katanya.
Sementara Muqowim, dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta mengatakan Indonesia akan mendapatkan bonus demografi pada 2045 mendatang atau Indonesia pada usia ke 100 tahun. Bonus demografi ini juga merupakan 'Golden Generation' dan mereka harus bisa memberi manfaat kepada negara.
“Calon generasi emas harus mendapat pendidikan yang memadai agar menjadi generasi yang kreatif, inovatif, produktif, mampu berpikir orde tinggi, berkarakter, serta cinta dan bangga menjadi bangsa Indonesia,” kata Muqowim.