REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Banjir menjadi salah satu permasalahan yang kerap dialami kota-kota besar. Pendangkalan sungai juga saluran air yang mana terjadi akibat perilaku buruk manusia membuat air meluap bahkan ke jalan-jalan.
Kondisi ini diperparah dengan semakin masifnya pembangunan dan betonisasi membuat area resapan air berkurang. Akibatnya air yang turun dibawa hujan tak bisa lagi kembali ke tanah hingga menyebabkan genangan hingga banjir.
Permasalahan ini menjadi pemikiran dari salah seorang peneliti dari Pusat Penelitian Nanosains dan Nanoteknologi (PPNN) Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Bambang Sunendar Purwasasmita. Bandung sebagai salah satu kota metropolitan pun demikian.
Jalan-jalan yang bahkan berada di kawasan atas seperti Dago juga Pasteur kerap tergenang air saat hujan deras turun atau biasa disebut banjir cileuncang.
Prof. Bambang menilai jalan juga menjadi kebutuhan utama sebagai akses masyarakt. Ia pun meneliti solusi yang bisa dikembangkan untuk mencegah banjir di jalan-jalan.
Tujuh tahun lalu, Prof Bambang mulai melihat bahwa teknologi jalan berpori telah banyak dikembangkan di negara-negara maju untuk mencegah banjir. Namun belum ada informasi proses dan bahan pembuatannya seperti apa karena sifatnya rahasia. Ia pun mulai melakukan riset untuk mengembangkan jalan berpori agar bisa diterapkan di Indonesia.
"Kita coba pakai biopolimer ternyata mampu. Ini menjadi pengganti semen, pengganti aspal untuk di jalan. Makanya kemudian kita berkemban, kita buat konstruksi bata berpori," kata Bambang kepada Republika.co.id pada Pameran Produk dan Karya Inovasi ITB, akhir pekan lalu.
Bambang mengatakan bata berpori yang dikembangkannya berbahan dasar geopolimer yakni material baru tahan api dan panas, pelapis dan perekat untuk bahan beton. Yang dibuat dengan nanoteknologi atau teknologi pemanfaatan sifat-sifat molekul atau struktur atom sehingga bersifat lebih baik.
Bahan-bahan yang digunakannya pun berasal dari limbah industri. Sehingga green process benar-benar diterapkan sekaligus mendukung daur ulang limbah. "Dari limbah industri dari seng, x-ray elektrik power banyak pakai batu bara jadi bahan baku dan ada produknya. Itu bisa dijadikan bahan," ujarnya.
Bata berpori dikatakannya dapat digunakan untuk konstruksi trotoar, jalan, halaman parkir ataupun carport. Berbahan nol semen membuat bata pun menyerap air dengan sangat cepat. Menurutnya kekuatan daya serap airnya mencapai 1.000 liter per meter persegi permenit. "Tentu ini bisa jadi solusi mengatasi banjir. Drainase lebih baik. Jadi air hujan benar-benar kembali ke tanah lagi karena berbeda dengan beton yang tidak bisa menyerap. Ini langsung diserap ke dalam tanah," tuturnya.
Dari segi kualitas pun dikatakannya tergolong kuat dan tidak mudah rusak. Perekatnya dibuat menggunakan keramik bukan aspal ataupun semen.
Selain itu, biaya yang dikeluarkan relatif lebih murah dibanding bata biasa. Jalan dengan panjang 20x4 meter cukup menghabiskan Rp 125 juta.
Bambang mengatakan teknologi serupa telah banyak diterapkan di negara-negara maju. Seperti Jepang, Jerman, dan Cina. Ia juga sudah berusaha menginformasikan pada Kementerian Pekerjaan Umum berkaitan teknologi yang telah berhasil dikembangkannya.
"Saya pun berharap ini bisa digunakan di Indonesia. Saya ingin Bandung sebagai permulaan ya.
Kalau bisa dimanfaatkan di Jawa Barat. Awal April kita akan bikin mark up jalan dan tempat parkir di ITB dulu untuk proyek awal," katanya.