REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Rektor Indonesia (FRI) meyakini, lingkungan perguruan tinggi harus mendapat pemahaman paham radikalilme dan intoleransi. Alasannya, pemahaman itu untuk mencegah paham radikalisme berkembang di kampus. "Jadi harus dipahamkan dulu," kata Ketua FRI Suyatno kepada Republika.co.id, Ahad (4/6).
Hal itu menyusul adanya salah satu dekan terpilih di perguruan tinggi swasta yang belakangan diketahui terafiliasi dengan kelompok radikal. Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengancam akan memecat rektor di perguruan tinggi yang memiliki kegiatan gerakan radikalisme.
Suyatno mengatakan, rektor merupakan pimpinan tertinggi di perguruan tinggi. Sehingga, menurutnya wajar apabila rektor bertanggung jawab atas kegiatan-kegiatan di ingkungan kampus. Namun, ia mengatakan, perguruan tinggi tidak bisa berdiri sendiri. Sehingga, ia mengusulkan agar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) masuk ke lingkungan kampus. "Kita harus sama-sama dengan pemerintah," jelasnya.
Rektor Universitas Muhammadiyah Prof DR Hamka (UHAMKA) itu beranggapan, munculnya radikalisme dan intoleransi disebabkan dua faktor. Yakni ketidakadilan atau kesenjangan dan kedaulatan. Disinggung masalah adanya dekan yang terafiliasi kelompok radikal, menurutnya, bukan berarti perguruan tinggi itu terjangkit paham radikalisme.
Ia mengingatkan, pihak kampus tidak bisa sepenuhnya mengontrol aktivitas mahasiswa di luar kampus. "Dekan yang terafiliasi ISIS, kan mungkin karena kita tak paham. Dekan kan dipilih senat. Nah mungkin orang enggak tahu, orang radikal kayak apa," tutur Suyatno.