REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Minimnya kesadaran perawatan gigi menjadi penyebab utama gigi berlubang. Di samping itu, tingginya biaya perawatan gigi merupakan faktor yang menyebabkan tingginya angka gigi berlubang di Indonesia.
Impor peralatan dan obat-obatan untuk gigi sebesar 70-80 persen yang menyebabkan harga perawatan gigi mahal. Biokeramik hidroksiapatit (HAp) telah berhasil digunakan sebagai implan karena secara kimiawi mirip dengan konstituen anorganik dari jaringan keras biologis, karena pembentukan ikatan yang kuat dengan jaringan keras, HAp dapat digunakan dalam ortopedi atau implan gigi.
Tingginya nilai impor terhadap biomaterial HAp menjadi masalah serius karena harga yang cukup mahal. Sekarang ini telah berkembang biomaterial memanfaatkan limbah alam. Salah satu limbah alam yang belum dimanfaatkan secara maksimal adalah cangkang telur.
Cangkang telur merupakan sumber kalsium (Ca) dalam bentuk CaCO3 (calcium carbonate) sebagai kandidat biomaterial impan.
Sumaya Yulia Putri, mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) bersama tim Program Kreativitas Mahasiswa – Penelitian (PKM-P) yaitu Angga Saputra, Annisa Tsalsabila, dan Nurhalim terdorong melakukan sebuah penelitian untuk mendapatkan bahan alternatif hidroksiapatit sebagai bahan untuk tambal gigi.
Hidroksiapatit merupakan material yang bagus untuk implan tulang dan gigi, kandungan terbesar dari gigi itu adalah hidroksiapatit.
“Karena kita tahu harga hidroksiapatit sangat mahal, maka kita mencoba sintesis dari bahan limbah yaitu cangkang telur bebek sebagai sumber kalsiumnya. Setelah kita mendapatkan hidroksiapatit kita tambahkan resin, dijadikan bahan untuk menambal gigi. Cangkang telur bebek itu kandungan kalsiumnya dalam bentuk kalsium karbonat sekira 94 persen. Jadi kita mengambil kalsium dari cangkang telur bebek, setelah itu nanti kita campurkan dengan fosfat untuk mendapatkan hidroksiapatit,” ujarnya seperti dikutip dari keterangan pers diterima Republika.co.id, Senin (12/6).
Dalam pelaksanaannya, untuk mendapatkan hidroksiapatit dari cangkang telur bebek, tim ini menggunakan metode iradiasi microwave. Metode ini digunakan karena memiliki keuntungan, diantaranya konsumsi energi yang rendah, ekonomis, dan dapat dioptimalkan untuk produksi masal.
Penggunaan iradiasi microwave akan mempercepat proses pembuatan nano HAp dibandingkan dengan metode konvensional lainnya. Microwaves memiliki frekuensi 300 MHz - 300 GHz dengan panjang gelombang dari 1 m - 1 mm yang terletak antara frekuensi gelombang radio dan inframerah pada spektrum elektromagnetik.
Berdasarkan rangkaian uji yang dilakukan, tim ini telah berhasil sampai pada tahap mendapatkan bahan uji hidroksiapatit dari cangkang telur bebek yang sesuai dengan literatur.
“Data untuk hidroksiapatit sudah didapatkan, tinggal kita mencoba untuk membuat tambal giginya dengan cara mencampurkan hidroksiapatitnya dengan resin. Sebenarnya hidroksiapatit itu merupakan kalsium fosfat dengan rasio molaritas 1,67 dan di penelitian ini didapatkan 1,68, dan itu sama dengan yang dikomersialkan saat ini,” terangnya.
Selanjutnya tim melakukan rangkaian uji untuk mengetahui apakah bahan material tersebut bisa diterima jaringan tubuh manusia atau tidak melalui sebuah uji in-vitro. “Jadi uji in vitro itu kita melakukan pengujian material dengan cairan yang menyerupai tubuh, nanti kita lihat bagaimana interaksi apakah ada jaringan yang tumbuh atau tidak, karena dari situ kita bisa mengidentifikasi baik tidak buat gigi, bisa kompatibel tidak dengan gigi kita, kalo bisa menyerap berarti bisa berinteraksi dengan jaringan tubuh kita,” jelasnya.
Penelitian ini diharapkan dapat mengedukasi masyarakat tentang biokeramik sebagai nanomaterial tambal gigi yang memanfaatkan limbah cangkang telur bebek. Bagi dunia kesehatan, tambal gigi dari limbah cangkang telur bebek bisa diaplikasikan langsung kepada masyarakat dengan harga lebih ekonomis. Selain itu, Indonesia bisa mengurangi impor biomaterial tambal gigi karena dapat memproduksi secara efisien dan mandiri.
“Harapan pertama penelitian kami selesai sampai tahap akhir. Uji invitro itu bisa membuktikan bahwa materi itu bisa kompatibel dengan gigi/tubuh. Selanjutnya harus dilakukan tahap uji invivio langsung ke hewan yang hidup. Harapan selanjutnya kita ingin memperkenalkan pada masyarakat bahwa material tambal gigi itu bisa didapatkan dari limbah alam yang ada di sekitar,” ujarnya.