Ahad 06 Aug 2017 01:52 WIB

IPB Teliti Penyakit pada Kelelawar

kelelawar
Foto: AP
kelelawar

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB) bekerja sama dengan peneliti Jepang melakukan kajian komprehensif berbasis one health, lintas bidang ilmu, memadukan kajian bidang-bidang morfofisiologi, perilaku, ekologi, epidemiologi, patologi maupun virologi pada level yang lebih molekuler hingga genom kelelawar.

"Tujuannya adalah untuk mempelajari potensi dan resiko serta identifikasi jenis-jenis virus pada kelelawar Indonesia," kata Guru Besar FKH IPB, Prof Shrihadi Agungpriyono, di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (6/8).

Ia menjelaskan, kelelawar merupakan reservoir (pembawa) berbagai jenis virus. Dilaporkan tidak kurang dari 200 jenis virus telah diisolasi dari kelelawar, di antaranya bersifat patogen dan menimbulkan penyakit di manusia maupun hewan lainnya. "Contohnya, rabies, ebola, nipah, hendra, marburg dan Japanese encephalitis atau radang otak," katanya.

Tapi uniknya kelelawar, lanjut dia, walau mengandung banyak virus di dalam tubuhnya. Hewan nokturnal atau aktif di malam hari tersebut tidak menunjukkan gejala sakit. Keunikan ini diduga terkait erat dengan keunikan morfofisiologi sistem kekebalan dan pertahanan alami tubuh kelelawar.

Ia mengatakan, virus patogen bisa berpindah kepada sesama kelelawar, hewan lain atau manusia lewat cairan tubuh, seperi air liur, menempel pada sisa buah yang dimakan, lewat ekskreta tubuh (urine dan feses) dan lewat kontak langsung.

"Selain itu, kemampuan terbang kelelawar menjangkau area yang jauh dapat membuat serangan virus menjadi semakin luas," katanya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam kedokteran hewan dikenal dengan ilmu Morfofisiologi atau disebut juga anatomi fungsional yakni ilmu dasar yang mempelajari tentang bentuk dan fungsi sistem organ tubuh serta keterkaitannya dengan proses-proses regulasi, perilaku, dan lingkungannya.

Menurutnya, kajian morfofisiologis sangat penting dalam memberikan pengetahuan yang lebih lengkap dan komprehensif tentang hewan. Sepetri, sifatnya, perilaku, cara berkembang biak, fisiologi, dan regulasi sistem organ, sampai ke mekanisme kejadian penyakit serta proses tanggap kebalnya.

"Contoh aplikasi ilmu morfofisiologi dalam mendukung riset terkait penyakit menular adalah kajian pada potensi kelelawar sebagai sumber penyakit," katanya.

Ia mengatakan, di Indonesia, data ilmiah tentang kondisi dan potensi kelelawar sebagai sumber penyakit zoonosis masih sangat kurang. Pada studi telemetri, peneliti memasang alat pemancar untuk memantau arah dan jarak terbang kelelawar, terpantau kelelawar pernah terbang dari Sukabumi hingga ke pulau Flores (2.250 kilometer) dalam dua hari. "Yang menarik adalah di Sukabumi maupun Flores termasuk daerah endemis penyakit Rabies," katanya.

Oleh karena itu, lanjut Srihadi, deteksi dini terhadap penyakit zoonosis sangat penting. Peran dokter hewan dan kajian morfofisiologis penting untuk menggali informasi ilmiah awal pada hewan sebagai asal sumber penyakit.

Srihadi menambahkan, melalui kerja sama riset IPB dan Jepang, kini IPB memiliki fasilitas laboratorium BSL-3 dan dosen-dosen muda yang memiliki kemampuan melakukan isolasi virus melalui sistem biakan jaringan serta identifikasi virus melalui analisis genom menggunakan peralatan mutakhir next generation sequencer.

"Dengan adanya sumber daya manusia yang mumpuni dan fasilitas lab BSL-3 ini, IPB mampu melakukan riset pada patogen penyakit menular yang berpotensi zoonosis di Indonesia dengan metode deteksi yang mutakhir, canggih dan aman," kata Srihadi.

Srihadi secara khusus menyampaikan hasil penelitiannya terkait peran anatomi dari kajian Morfofisiologi ke konsep one health dalam orasi ilmiah Guru Besar IPB di Graha Widya Wisuda, Sabtu.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement