REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA--Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan maupun penghidupan masyarakat. Hal tersebut dapat disebabkan, oleh faktor alam, faktor nonalam maupun faktor manusia yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Ketika seseorang mengalami atau menjadi korban dari sebuah bencana, baik yang alami maupun buatan, hal tersebut bisa menyebabkan trauma-trauma psikologis. Trauma tersebut dapat membuat korban mengalami post traumatic stress disorder (PTSD).
Dalam menangani korban bencana yang mengalami trauma, perawat memiliki peran penting agar dapat memberikan pertolongan pertama yang dibutuhkan. Hal tersebut disampaikan oleh Shanti Wardaningsih, selaku Keynote Speaker dalam 4th International Emergency Nursing Camp (IENC).
"Trauma psikologis merupakan jenis kerusakan jiwa yang terjadi sebagai akibat dari peristiwa traumatik, dalam hal ini adalah bencana. Kerusakan tersebut dapat mengakibatkan ketidakteraturan regulasi neuropsikologi yang akan mengganggu kemampuan korban dalam bertindak atau merespon suatu tindakan," ujarnya ketika memberikan presentasi mengenai Psychological Problems in Disaster: Cause, Effect, and Treatment di ruang sidang A.R Fachruddin B Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dalam keterangan pers kepada Republika pada Sabtu (5/8).
Ia juga mengatakan, ada beberapa faktor yang memengaruhi besarnya efek dari bencana tersebut kepada trauma psikologis yang dialami korban. Faktor yang pertama adalah seberapa langsungnya kejadian tersebut berdampak kepada mereka.
Di sini ia membaginya menjadi 2 yaitu kehadiran fisik ketika kejadian bencana terjadi dan keterkaitan emosional terhadap bencana. Lalu yang kedua adalah faktor individual, ini termasuk sejarah traumatik yang mungkin dimiliki korban, kelainan genetik, umur dan lain-lain. Hal-hal tersebut harus dipertimbangkan oleh perawat dalam memberikan penanganan untuk korban.
Apabila tidak dimedikasi secara tepat, trauma psikologi yang dialami oleh korban bencana alam dapat mengarah kepada post disaster PTSD.
"Ada beberapa tahap yang terjadi ketika seseorang mengalami trauma psikologi akibat bencana. Yang pertama adalah syok, goncangan yang dialami korban ketika kejadian bencana terjadi. Lalu ini berlanjut pada masa awal setelah kejadian bencana terjadi, ada istilah honeymoon yaitu 1 hingga 3 bulan pertama dimana korban akan merasa aman dari bencana. Kemudian pada 3 hingga 6 bulan setelah kejadian ada istilah disillusionment, yaitu rasa kekecewaan atas hal yang terjadi pada korban," kata Shanti yang merupakan Dosen Keperawatan UMY tersebut.
Shanti melanjutkan, bahwa masa-masa setelah 6 bulan merupakan waktu yang krusial. Pada waktu ini kondisi korban terhadap trauma psikologi bisa berubah jadi lebih baik atau malah breakdown.
Ini yang berusaha dicegah karena bila tidak ditangani korban bisa mengalami postdisaster PTSD yang dapat berpengaruh buruk terhadap kehidupan dan juga lingkungan sekitar korban. Pengaruh tersebut dapat berakibat pada hubungan sosial korban dengan orang terdekat bahkan diri sendiri. Post-disaster PTSD juga dapat mempengaruhi perilaku dan respon korban dalam beraktivitas sehari-hari.
Mengingat berbedanya treatment yang dibutuhkan korban bencana untuk menagani trauma psikologi, Shanti menyebutkan beberapa hal yang dapat dijadikan acuan. Menurutnya, perawat dapat memberikan pertolongan psikologis pertama untuk korban. Pertolongannya mengacu pada beberapa aspek, pertama keamanan, ketenangan, keterhubungan, kemanjuran, dan harapan. Tujuannya agar perawat dapat merespon keadaan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh korban.
Rangkaian kegiatan IENC tersebut diadakan oleh Nursing Care Club Emergency UMY yang bergerak di dalam bidang kegawatdaruratan dan diselenggarakan setiap tahunnya. 4th IENC kali ini mengangkat pembahasan tentang Proses Penyembuhan dalam Disaster Management, dan diselenggarakan selama tiga hari sejak Jumat (4/8) hingga Ahad (6/8) .
Acara yang diikuti oleh mahasiswa keperawatan dari berbagai universitas di Indonesia, Australia, Malaysia, dan Thailand tersebut dapat diharapkan dapat menambah wawasan dan melatih softskill peserta untuk melaksanakan manajemen bencana secara tepat, cepat, akurat dan benar.