REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Forum Rektor Indonesia (FRI) menilai usulan merger perguruan tinggi butuh keseriusan pemerintah. Sebab, selama ini upaya merger kerap tersandung regulasi di tingkat Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis).
“Menteri langsung kasih SK (surat keputusan) bagi perguruan tinggi yang mau merger,” kata Ketua FRI Suyatno kepada Republika, Senin (4/9).
Ia menjelaskan selama ini proses merger perguruan tinggi sulit dilakukan, terutama bagi perguruan tinggi berbeda yayasan. Ia menjabarkan salah satu persyaratan merger, yakni harus ada persetujuan masing-masing senat.
Selain itu, aturan menristekdikti menyebut minimal perguruan tinggi itu harus terakreditasi B. Perguruan tinggi itu juga harus meluluskan mahasiswa. “Kalau mau merger, regulasi diubah, pemerintah fasilitasi,” ujar dia.
Suyatno menegaskan campur tangan pemerintah sangat diperlukan agar rencana merger itu tidak tersandung regulasi. Ia mengamini merger merupakan rencana yang tepat bagi perguruan tinggi swasta. Khususnya bagi mereka yang memiliki mahasiswa kurang dari 1.000 orang. Alasannya, perguruan tinggi itu menjadi lebih efisien, meningkatkan daya saing dan kualitas.
Suyatno mencontohkan kesulitan menyatukan perguruan tinggi yang berada di bawah satu yayasan di Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Yayasan Muhammadiyah mencoba menyatukan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi, dan Akademi Kebidanan selama enam bulan ini.
Namun, ia menuturkan, penyatuan tersandung masalah administrasi. “Kalau menteri mau sungguh-sungguh regulasi diubah, apalagi pemerintah fasilitasi,” ujar Suyatno.
Apabila tidak ada campur tangan pemerintah, ia mengatakan, FRI mengimbau pada perguruan tinggi swasta tak perlu merger. Sebab, proses administrasinya sulit.