REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Hutan merupakan paru-paru dunia. Hal itu karena hutan sangat berperan penting dalam kehidupan manusia baik sebagai sumber utama penghasil oksigen, pengatur keseimbangan ekosistem maupun habitat bagi banyak makhluk hidup.
Apabila terjadi kebakaran hutan tentu saja membawa dampak buruk bagi manusia, ekosistem maupun bagi lingkungan. Dampak kebakaran hutan antara lain hilangnya habitat bagi makhluk hidup, rusaknya ekosistem lingkungan, berkurangnya pasokan oksigen di alam, tercemarnya udara, terganggunya sistem navigasi pesawat serta menyebabkan terjadinya pemanasan global karena lepasnya zat CO2 ke atmosfer hasil pembakaran.
Peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) melakukan penelitian terkait sequential pattern mining pada data titik panas sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalimantan. Mereka adalah Lailan Syaufina (Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan), Imas Sukaesih Sitanggang, Rina Trismingsih, Husnul Khotimah (Departemen Ilmu Komputer, FMIPA) IPB.
Imas mengatakan, titik panas merupakan salah satu indikator kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Tidak semua titik panas merupakan indikator kuat terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Kejadian titik panas berturut-turut sedikitnya dalam tiga hari pada suatu lokasi dapat menjadi indikator kuat terjadinya kebakaran hutan dan lahan, khususnya di lahan gambut.
Pendekatan spatio-temporal data mining dapat digunakan untuk mendapat pola sekuens titik panas dimaksud. “Penelitian ini berhasil mendapatkan pola sekuens kemunculan titik panas di lahan gambut di pulau Kalimantan menggunakan pendekatan sequential pattern mining dengan menerapkan algoritme SPADE (Sequential Pattern Discovery using Equivalence classes),” ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Selasa (12/9).
Ia menambahkan, pola sekuens titik panas yang dihasilkan pada nilai support minimum 0,1 persen yaitu 175 sekuens di Kalimantan tahun 2014 dan 295 sekuens di Kalimantan tahun 2015. Sekuens titik panas kemudian digabung dengan data cuaca untuk mendapatkan pola asosiasi antara kemunculan sekuens titik panas dengan data cuaca dengan pendekatan association rule mining.
Imas menyebutkan, pola sekuens kemunculan titik panas di Kalimantan tahun 2014 terjadi dalam kondisi cuaca dengan kelembapan rata-rata antara 77,7–82,5 persen, suhu rata-rata antara 27,00–27,69°C, dan curah hujan 0. Sedangkan pada tahun 2015 pola tersebut terjadi dalam kondisi cuaca dengan kelembapan rata-rata antara 65,8–72,1% dan 78,6–84,9%, suhu rata-rata antara 27,38–29,32°C, dan curah hujan antara 0,0–0,9 mm.
“Hasil penelitian ini memiliki arti penting dalam pencegahan kebakaran lahan gambut untuk meminimalkan kejadian kebakaran dan dampaknya pada masa depan,” tuturnya.