REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M. Nasir mengimbau kalangan dosen perguruan tinggi dalam melakukan riset atau penelitian harus melihat kebutuhan pasar industri.
"Biasanya, dosen meneliti kan commonsense, tidak melihat apa yang dibutuhkan pasar atau industri," katanya, usai meresmikan Teaching Industry Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Sabtu (23/9).
Mantan Rektor Undip terpilih itu mengatakan Kemenristek Dikti akan mengawal agar penelitian-penelitian yang dilakukan kalangan perguruan tinggi mempertimbangkan market and demand industri.
Dengan keberadaan teaching industry, kata dia, Undip sudah melangkah ke depan untuk melakukan riset yang menghasilkan berbagai yang dibutuhkan industri dan memiliki pasar potensial. Menurut dia, saat ini Kemenristek Dikti telah menyiapkan rancangan induk nasional untuk penelitian yang melingkupi delapan bidang untuk menggenjot iklim penelitian dan riset di perguruan tinggi.
"Delapan bidang itu, antara lain food agriculture. Ya, seperti penelitian padi Sidenuk, risetnya terus dikembangkan. Kemudian, bidang health and medicine, 'information and communication technology' (ICT)," katanya.
Nasir menyebutkan penelitian terus didorong sehingga per September 2017 tercatat setidaknya ada 11.271 penelitian, sementara negara-negara lain, seperti Thailand masih berada di angka 9.800-an. "Pada 2016, Malaysia di angka 27 ribu, Indonesia meningkat menjadi 11.700 penelitian, dan Thailand sudah 13 ribu. Tahun ini, saya optimis bisa mencapai 16 ribu meski targetnya hanya 12 ribu," pungkasnya.
Sementara itu, penggagas Teaching Industry Undip Dr M. Nur, DEA menjelaskan Teaching Industry merupakan pencapaian tertinggi dari perjalanan riset yang sudah menghasilkan produk atau publikasi. "Tidak cukup menghasilkan produk, tetapi harus bisa diindustrialisasi. Jadi, ini semacam industri mini dalam kampus yang berbasis hasil penelitian, seperti generator ozon yang sudah kami produksi," katanya.
Ia mengatakan generator ozon sudah dimanfaatkan oleh Universitas Padjajaran, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Tanah Karo untuk bawang merah, Gapoktan Mutiawa Organik Magelang, dan sebagainya. "Ini merupakan pembangkitan ozon dalam teknologi plasma. Jadi, bisa mengawetkan produk sayuran dan buah-buahan dalam waktu sangat lama, seperti cabai yang tetap segar dalam dua bulan," katanya.
Untuk alat yang sudah diproduksi, kata dia, nilainya sekitar Rp 40 juta, tetapi jika sudah dikemas dalam bentuk "cold storage" dipasarkan sekitar Rp 150 juta dengan 90 persen komponen dalam negeri. "Kalau hanya 1-2 petani memang agak berat. Makanya, kami mendorong kelompok tani atau koperasi. Kami juga sudah bekerja sama dengan 40 gapoktan cabai di Kabupaten Magelang," katanya.