REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Sebanyak 86 profesor dari 16 perguruan tinggi di Indonesia akan bertandang ke Malaysia untuk menghadiri kegiatan Forum Pertanian Ikatan Profesor Indonesia-Malaysia (IPIMA) 2017.
"IPIMA 2017 akan berlangsung selama empat hari di Malaysia. Perguruan tinggi Indonesia menurunkan 86 profesornya, 48 di antaranya adalah profesor IPB," kata Prof Muh Yusram Massijaya, Ketua Pengarah Panitia Forum Pertanian IPIMA 2017 di Kampus IPB Baranangsiang, Kamis (3/11).
Yusram menjelaskan IPIMA merupakan perhimpunan yang terdiri dari Asosiasi Profesor Indonesia (API) dan Majelis Profesor Negara (MPN) Malaysia. Dan, Dewan Guru Besar IPB merupakan bagian dari Kluster API serta klaster MPN.
Lebih lanjut ia menjelaskan, IPIMA menggelar konferensi dan diskusi meja bunda yang mengangkat tema "Transformasi Pertanian Berkelanjutan untuk Kesejahteraan Bangsa Indonesia dan Malaysia. "Acara akan digelar pada 6-9 November 2017 di Serdang Selangor Malaysia," katanya.
Forum Pertanian IPIMA 2017 terselenggarakan berkat kerja sama IPB dengan Universitas Putra Malaysia. Pada November 2013 lalu Forum IPIMA pertama telah dilaksanakan di Bogor. Tahun ini disepakati untuk rencana aksi dari forum IPIMA yang pernah dilaksanakan 2013 lalu.
"Penyelenggaraan Diskusi Meja Bunda ini diharapkan akan menghasilkan agenda pengembangan pertanian berkelanjutan untuk mencapai kesejahteraan bangsa Indonesia dan Malaysia," kata Yusram.
Ketua Asosiasi Profesor Indonesia Prof Sofian Effendi mengatakan salah satu luaran yang dihasilkan Kongres IPIMA 2013 lalu adalah Resolusi IPIMA 2013 yang perlu ditindaklanjuti dengan penyusunan rencana aksi. "Rencana aksi ini akan dibahas dalam forum meja bunda sebagai salah satu agenda IPIMA 2017," katanya.
Sofian menambahkan, IPIMA diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan bahkan berperan strategis dalam aksi nyata memberikan solusi terhadap permasalahan nasional kedua bangsa.
Wakil Ketua API Prof Fasli Djalal menambahkan salah satu poin yang akan dibahas dalam Forum IPIMA 2017 yakni penerbitan jurnal kerja sama Indonesia dan Malaysia untuk menjembatani para peneliti agar karyanya diakui secara internasional dan regional di kedua negara.
"Karena untuk memasukkan jurnal ilmiah ke dalam Scopus butuh waktu lama bahkan dua tahun. Agar peneliti kita dapat diakui dan dihargai, maka sembari menunggu jurnal internasional indeks Scopus muncul, kita sudah lebih dulu mempublikasikan melalui jurnal kerja sama Indonesia dan Malaysia ini," kata Fasli.
Fasli menambahkan keberangkatan para profesor Indonesia ke Malaysia secara mandiri tidak dibiayai oleh Malaysia. Kebijakan itu diambil sebagai bentuk kemandirian bangsa Indonesia, agar tidak terlalu bergantung dengan Malaysia dalam hal penelitian dan ilmu pengetahuan.