Ahad 07 Jan 2018 21:48 WIB

STEI Tazkia Soft Launching Pusat Studi Kitab Klasik Islam

Soft Launching Pusat Studi Kitab Klasik Islam STEI Tazkia dan Seminar Pemikiran Ekonomi Islam
Foto: dok. STEI Tazkia
Soft Launching Pusat Studi Kitab Klasik Islam STEI Tazkia dan Seminar Pemikiran Ekonomi Islam

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- STEI Tazkia mengadakan seminar pemikiran ekonomi Islam dengan judul ‘Rethingking our Conception of Working: An Insight from al-Syaibani’s Kitab al-Kasb’ dan soft launching Pusat Studi Kitab Klasik Islami (Puski) STEI Tazkia. Dalam acara ini, STEI Tazkia menghadirkan Muhammad Hanif al-Hakim SEI MPhil yang merupakan alumni angkatan ke-8 STEI Tazkia dan juga alumni S2 di bidang Filsafat dan Pemikiran Islam di CASIS-UTM.

Direktur Puski Nurizal Ismail MA mengatakan, Puski ini sangat penting dalam menjembatani karya-karya ulama Muslim dalam lintasan sejarah Islam khususnya di bidang ekonomi Islam, seperti al-kharaj, al-amwal, dan al-kasb, menuju masa kontemporer ini. Mengutip hadist yang diriwayatkan Abu Daud dari Abu Darda, dia mengatakan, ulama adalah pewaris para Nabi. 

"Adapun yang diwariskan oleh para Nabi adalah ilmu, maka sudah sepatutnya kita para penggiat ekonomi Islam mempelajari ilmu-ilmu ulama yang tertulis dalam kitab-kitabnya yang monumental. Harapan dari pusat ini adalah memberikan kontrsibusi yang signifikan untuk pengembangan ekonomi islam di Indonesia dan dunia," kata Nurizal dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Ahad (7/1).

Rektor STEI Tazkia Dr Murniati Mukhlisin mengungkapkan, Puski ini menjadi unggulan dan sangat diharapkan kemunculan untuk memperkuat epistemologi ilmu ekonomi Islam saat  ini. Perlu adanya integrasi keilmuwan dari hulu (kitab-kitab turast) ke hilir (buku-buku modern). Menurutnya, ilmu yang ada dalam kitab-kitab turast itu mahal karena tidak semua orang dapat membaca kitab, tidak semua orang yang punya waktu dapat membacanya dan ada orang yang bisa membacanya tetapi tidak mempunyai waktu.

Ïni harus menjadi kekuatan islamisasi ekonomi dan keuangan di STEI Tazkia," kata Murniati. Hal ini selaras dengan pertanyataan Prof Dr Abu Hamid Sulayman, rektor pertama International Islamic University of Malaysia (IIUM) dan penerus ide-ide Islamisasi Faruqi, bahwa Islamisasi yang ideal adalah asalah wal mua’sirah, yaitu kembali kepada akar ilmu Islam dan diaplikasikan pada masa kontemporer.

Sementara Hanif nara sumber dalam seminar memberikan testemoni awal tentang al-Syaibani. Kitab karya al-Syaibani al-kasb ditulis di abad ke-2 Hijriyah. Al-Syaibani merupakan murid dari Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf, dan juga sekaligus guru dari Imam Syafi’I, pendiri dari Mazhab Syafi’i.

Menurut Hanif, konsep kerja Barat hanya memfokuskan kepada angka-angka atau sesuatu yang terukur, tetapi tidak berbicara secara mendalam tentang falsafah dan sifat dari kerja itu sendiri. "Adapun konteks kitab al-kasb itu adalah untuk membawa kita kembali bagaimana ketika kita mencari nafkah yang bersumber dari ajaran-ajaran Islam," katanya.

Kenapa al-kasb lebih tepat diterjemahkan dengan mencari nafkah? Ini, kata dia, karena tujuan mencari kekayaan adalah untuk dinafkahkan. Sehingga, kata al-kasb dan al-infaq selalu disandingkan dalam beberapa ayat Alquran misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 268:” Hai orang-orang beriman, nafkahkanlah (nafkah) sebagian dari hasil usahamu (kasaba) yang baik-baik dan sebagian dari apa yg Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.”

Dikatakan Hanis, ada eberapa poin ide-ide al-Syaibani dalam kitabnya. Pertama, mencari nafkah (kasb) sebagai suatu bentuk ibadah kepada Allah dengan cara mencari rizki (rizq) dan penghidupan (ma’asyi). Kedua, tingkatan al-kasb bermula dari tujuan al-kasb adalah untuk menegakkan tulang punggungnya (dirinya sendiri) sebagai suatu yang fardhu ‘ain, supaya dapat menjalankan kewajiban-kewajibannya seperti shalat dengan sempurna.

Selanjutnya, apabila seorang memiliki hutang, maka dia harus bekerja atau mencari nafkah agar dapat membayar hutangnya jika tidak mempunyai warisan dari pendahulunya. Kemudian, apabila seorang memiliki keluarga atau orang-orang yang menjadi tanggungannya, maka dia bekerja menjadi fardu kifayah untuk memenuhi keperluan mereka.

Adapun apabila memilik orang tua yang masih hidup maka bekerja untuk memenuhi keperluan keduanya menjadi fardu kifayah juga. Terakhir, disunnah kepada seseorang yang telah dapat memenuhi tingkatan sebelumnya untuk menyisihkan sebagian hartanya untuk kerabat-kerabatnya sebagai bentuk bentuk silaturrahmi.

Ketiga, bahwa al-kasb memiliki arti saling tolong menolong (Mu’awanah) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dan ketaatannya kepada-Nya. Karena itu, Hanif mengatakan, dalam mencari nafkah itu bukanlah dengan menghimpun kekayaan yang tanpa batasan. "Tapi, semua aktivitas pencarian nafkah harus mendapatkan keridhaan Allah Ta’ala," ucapnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement