REPUBLIKA.CO.ID, PADANG - Pimpinan kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi di Sumatra Barat menampik anggapan bahwa pihaknya melarang penggunaan cadar bagi mahasiswi dan dosen di lingkungan akademik. Kepala Biro Administrasi Umum Akademik dan Kemahasiswaan IAIN Bukittinggi, Syahrul Wirda, menegaskan bahwa imbauan yang diterbitkan kampusnya sesuai dengan kode etik yang disepakati seluruh civitas akademika.
Syahrul menyebutkan, sejak tahun 2017 lalu IAIN Bukittinggi sudah menjalankan langkah persuasif bagi mahasiswi dan dosen bercadar untuk mengikuti ketentuan berbusana sesuai kode etik kampus. Poin yang menjadi bahan pertimbangan kampus, lanjutnya, adalah upaya untuk menghindari justifikasi bahwa penggunaan cadar menunjukkan tingkat ke-Islam-an yang paling sempurna bagi seorang muslimah.
"Kadang yang kami takutkan, mereka posisikan diri bahwa yang bercadar itu yang benar. Itu nggak mau kita. Jangan justifikasi orang yang tidak bercadar belum sempurna Islamnya," jelas Syahrul, Selasa (13/3).
Syahrul juga menampik bahwa imbauan tata cara berbusana yang diterbitkan pihak kampus berkaitan dengan isu terorisme dan radikalisme. Baginya, imbauan bagi mahasiswi dan dosen agar tidak mengenakan cadar murni ketentuan kode etik kampus saja.
"Tidak ada kaitannya dengan isu radikalisme," katanya.
IAIN Bukittinggi juga menolak penggunaan diksi 'pelarangan cadar'. Syahrul memilih penggunaan kata 'imbauan' untuk menjelaskan kebijakan soal cadar ini. Terkait penonaktifan salah satu dosen, Syahrul menyebutkan bahwa pihak kampus hanya ingin agar dosen tersebut menaati aturan. Pimpinan kampus memandang bahwa penggunaan cadar bagi seorang dosen akan menghambat proses akademik di kelas. Bahkan, Syahrul mengaku kalau sudah ada masukan dari mahasiswa bahwa mereka merasa kurang nyaman ketika diajar oleh dosen yang mengenakan cadar.
"Ada pihak yang tidak merasa nyaman. Dia kan guru bahasa inggris. Dia mengajar anak-anak kan speaking perlu. Kita kan perlu identitas. Makanya kalau di kampus, kami minta tolong kode etik kampus dipatuhi. Sampai hari ini dia belum mau," kata Syahrul.
Syahrul melanjutkan, pihak kampus sampai saat ini tidak menghentikan dosen yang bersangkutan, yakni Hayati Syafri, dari jabatan akademik yang diemban. Meski begitu, IAIN Bukittinggi tetap melakukan upaya persuasif bagi Hayati agar mau kembali mengajar dengan ketentuan berbusana yang diminta oleh pihak kampus.
"Kalau di dalam kampus ikuti aturan pedagoginya. Kalau di luar silakan. Nggak ada aturan larangan," katanya.
Sebelumnya, IAIN Bukittinggi menerbitkan imbauan bagi dosen dan mahasiswinya untuk tidak mengenakan cadar di lingkungan akademik. Hal ini dituangkan dalam Surat Edaran tertanggal 20 Februari 2018 yang ditandatangani Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Bukittinggi.
Dalam surat tersebut, pihak kampus meminta mahasiswa dan mahasiswi untuk mengenakan pakaian sesuai kode etik yang dijalankan IAIN Bukittinggi. Di poin pertama, surat edaran meminta seluruh civitas akademika bersikap sopan santun. Poin kedua, menjelaskan aturan berpakaian bagi mahasiswi yakni memakai pakaian longgar, jilbab tidak tipis dan tidak pendek, tidak bercadar atau masker atau penutup wajah, dan memakai sepatu dan kaos kaki.
Sementara di poin ketiga diperuntukkan bagi mahasiswa, yakni memakai celana panjang bukan tipe celana pensil, baju lengan panjang atau pendek bukan kaos, rambut tidak gondrong, dan memaki sepatu serta kaos kaki.
"Bagi yang tidak mematuhi tidak diberikan layanan akademik," tulis surat edaran tersebut.