Sabtu 17 Mar 2018 04:03 WIB

Kampus Pertama yang Luncurkan Program Lacak Alumni Bidikmisi

Hal ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan program Bidikmisi

Gerbang Kampus ITB/ilustrasi
Gerbang Kampus ITB/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,  BANDUNG -- Institut Teknologi Bandung (ITB) menjadi perguruan tinggi pertama yang melakukan studi pelacakan alumni (tracer study) pada mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan program Bidikmisi di perguruan tinggi, khususnya di ITB.

Ketua Lembaga Kemahasiswaan ITB, Sandro Mihradi mengungkapkan, program Bidikmisi diluncurkan pemerintah pada 2010 lalu, guna mengangkat masyarakat dari golongan ekonomi bawah agar bisa keluar dari lingkaran kemiskinan, melalui pendidikan. Pihaknya melakukan tracer study khusus pada mahasiswa Bidikmisi ITB dengan tujuan melihat tingkat keberhasilan secara kualitas pendidikan serta daya ekonomi.

Dengan parameter-parameter tertentu, didapatkan hasil bahwa mereka para alumni penerima beasiswa Bidikmisi di ITB berhasil memperoleh penghasilan yang jauh lebih baik dan kualitas pendidikan yang lebih mumpuni, kata Sandro dalam konferensi pers di Jalan Dayang Sumbi, Kota Bandung, Jumat (16/3).

Sandro menuturkan jumlah responden mahasiswa Bidikmisi yang dilacak ialah angkatan 2010 sebesar 450 orang. Dari jumlah tersebut, pihaknya mengukur dengan parameter seperti jumlah rata-rata penghasilan, kategori lulusan, ketersesuaian pekerjaan dengan bidang studi yang diambil semasa kuliah, hingga nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK).

Berdasarkan kategori lulusan, sebanyak 68 persen bekerja dengan penghasilan rata-rata Rp. 7,5 juta/bulan, 5 persen berwirausaha dengan penghasilan sekitar Rp. 9,5 juta/bulan, 6 persen bekerja sambil berbisnis dengan penghasilan sekitar Rp. 7,2 juta/bulan, dan sebanyak 15 persen melanjutkan studi ke pendidikan yang lebih tinggi.

Jika melihat dari jumlah penghasilan per bulannya saja, maka program Bidikmisi cukup berhasil," ujarnya.

Menurutnya, alumni Bidikmisi di ITB telah memilili penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhannya. Tinggal selanjutnya, bagaimana agar alumni penerima beasiswa Bidikmisi ini bisa memberikan dampak berkesinambungan sehingga mereka bisa membantu adiknya, saudaranya, dan bahkan mengangkat derajat keluarganya agar memiliki kehidupan yang lebih baik.

Ia menyebutkan, ada sekitar 10 persen mahasiswa Bidikmisi yang menggunakan sebagian dana beasiswanya untuk membantu keluarga. Hal ini cukup mengejutkan jika mengingat jumlah dana beasiswa hanya Rp. 1 juta per orang. Seperti diketahui, pemerintah memperbolehkan perguruan tinggi untuk mengambil maksimal 40 persen dana beasiswa tersebut guna membayar SPP. Akan tetapi, ITB hanya memotong sebesar Rp. 50.000 saja, sedangkan Rp. 950.000 diberikan pada mahasiswa.

Ia pun melihat, bahwa mahasiswa Bidikmisi jauh lebih mandiri, terbukti dari hasil survey bahwa 63 persen diantaranya mencari penghasilan tambahan dan tidak hanya mengandalkan dana beasiswa saja.

Sementara itu, ia menyebutkan untuk meringankan pengeluaran mahasiswa, Lembaga Kemahasiswaan ITB menganggarkan sedikitnya Rp, 1 Miliar per tahun untuk voucher makan mahasiswa Bidikmisi.

"Mahasiswa Bidikmisi kita kasih voucher makan di kantin sehari 15 ribu," kata dia.

Sandro menilai bahwa dana yang didapatkan mahasiswa Bidikmisi kurang relevan dengan nilai kebutuhan hidup saat ini. Ia punberharap pemerintah bisa mempertimbangkan kembali besaran beasiswa Bidikmisi, minimal sesuai dengan kenaikan inflasi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement