Sabtu 24 Mar 2018 22:05 WIB

Peneliti: Kedaulatan Pangan Jangan Tergantung Beras

Indonesia menduduki peringkat pertama di dunia yang memiliki area sagu terbesar.

Rep: Irwan Kelana/ Red: Agung Sasongko
Seminar Interaktif bernama GREENTEA di Ruang Kuliah Pinus Fakultas Pertanian (Faperta), IPB Dramaga Bogor (21/03).
Foto: Istimewa
Seminar Interaktif bernama GREENTEA di Ruang Kuliah Pinus Fakultas Pertanian (Faperta), IPB Dramaga Bogor (21/03).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Himpunan Mahasiswa Ekonomi Sumberdaya Lahan dan Lingkungan (Himproreesa) Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) Institut Pertanian Bogor (IPB) menggelar Seminar Interaktif bernama GREENTEA di Ruang Kuliah Pinus Fakultas Pertanian (Faperta), IPB Dramaga Bogor (21/03).  Seminar ini mengangkat tema “Kedaulatan Pangan, Capaian Konkret atau Spekulasi?”

Acara ini menghadirkan dua pembicara, yaitu Prof. Dr. Ir. Hasjim Bintoro, M.Agr selaku guru besar Faperta IPB sekaligus peneliti tanaman sagu dan Prima Gandhi SP, M.Si selaku staf pengajar di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL). Hadir juga mahasiswa IPB dari berbagai departemen sekitar 60 orang peserta.

Prima mengatakan bahwa Indonesia sebenarnya belum mencapai kedaulatan pangan. Selama masih ada impor, kita belum berdaulat. Kebijakan-kebijakan  pemerintah belum menjadikan pangan sebagai prioritas.“Buktinya saja, di tahun politik seperti saat ini, tidak banyak bakal calon yang menjual isu pertanian sebagai  visi dan misi mereka,” ujarnya, dalam siaran persnya, Sabtu (24/3).

Tercapainya kedaulatan pangan adalah tanggung jawab bersama. IPB dapat memberikan kontribusi untuk permasalahan pangan Indonesia.

“Mahasiswa IPB dapat mendukung diversifikasi pangan dengan lebih dahulu berdaulat pangan di kampus. Seluruh departemen dapat bekerjasama untuk membuat alternatif pangan pengganti karbohidrat selain beras dan menyediakan berbagai komoditas pertanian lainnya,” ujarnya

Sejauh ini yang bisa dilakukan mahasiswa pertanian adalah menciptakan image yang baik untuk petani-petani masa depan agar pertanian tetap ada di jaman modern. Selain itu, mahasiswa juga dapat bekerjasama dengan desa-desa terpencil untuk menciptakan diversifikasi pangan yang terpadu.

Sementara itu, Prof Bintoro yang telah mengabdi puluhan tahun di Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB mengatakan bahwa kedaulatan pangan di Indonesia hanyalah sebuah mimpi jika tergantung dengan komoditas beras.

“Jika kedaulatan pangan hanya bergantung pada beras, ya mimpi. Tapi apabila kedaulatan pangan artinya keanekaragaman, itu pasti. Indonesia sangat potensial dengan komoditas sagu. Indonesia menduduki peringkat pertama di dunia yang memiliki area sagu terbesar, 90% nya terdapat di Papua. Saya yakin, jika orang Indonesia mau mengganti beras menjadi sagu, permasalahan pangan dapat diatasi dengan satu hektar sagu,” jelasnya.

Kedua pembicara sepakat bahwa keputusan pemerintah untuk melaksanakan impor beras tahun ini membuktikan bahwa kedaulatan pangan hanya sebuah spekulasi. Pemerintah harus segera mengganti komoditas beras dengan alternatif pangan lainnya, seperti sagu, jagung, singkong, dan lainnya.

Ketua pelaksana GREENTEA, Muflih Prakoso, menyampaikan bahwa acara ini dibuat sebagai wadah diskusi bagi mahasiswa untuk mengkritisi isu nasional yang belum terselesaikan sampai saat ini, yaitu kedaulatan pangan. Mahasiswa dan pembicara yang hadir menggali alternatif solusi bagi permasalahan pangan di Indonesia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement