Senin 16 Apr 2018 06:39 WIB

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Perlu Dievakuasi?

Saat ini pendidikan bahasa dan sastra Indonesia harus berbasis kompetensi.

Unindra mengadakan gelar wicara tentang evakuasi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Foto: Dok Unindra
Unindra mengadakan gelar wicara tentang evakuasi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Evakuasi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, seberapa perlu? Pertanyaan mendasar itulah menjadi alasan acara Gelar Wicara "Evakuasi Pendidikan Bahasa Indonesia Menuju Industri"  di Kampus Universitas Indraprasta PGRI Jakarta, Ahad (15/4).

Diskusi tersebut menampilkan nara sumber Agus Noor (sastrawan), Afrizal Malna (sastrawan), Syarifudin Yunus (akademisi bahasa dan sastra) dan dipandu moderator Sangaji Niken. Acara ini dihadiri sekitar 270 peserta sebagai wujud pengembangan ilmu bahasa dan sastra, di samping pemberdayaan eksistensi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia.

 

Siaran pers Unindra yang diterima Republika.co.id, Senin (16/4) menyebutkan, adalah fenomena nyata zaman now. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai disiplin ilmu seringkali dianggap remeh. Bahkan tidak sedikit mahasiswa yang mempelajari ilmu bahasa dan sastra pun menjadi galau. Dasarnya, apakah ilmu yang dimilikinya bisa berguna bagi dunia kerja?

Belum lagi persoalan praktis berbahasa. Khususnya di era euforia politik jelang pilkada serentak tahun 2018 dan pilpres tahun 2019. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu dan bahasa nasional justu kian dikebiri oleh para pemakainya sendiri.

 

Hampir tidak bisa disangkal lagi, pola berbahasa Indonesia yang ada saat ini di masyarakat justru cenderung eufimistik dan ambigu. Berbahasa zaman now, makin sulit dimengerti, tidak langsung kepada makna yang sebenarnya. Seperti ungkapan yang kontroversial belakangan ini "sebagian besar tanah negara dikuasai asing". Jujur, kalimat itu agak sulit dimengerti dan tidak didukung data.

 

Oleh karena itu, menjadi penting untuk dibahas. Apakah pendidikan bahasa Indonesia sudah dalam keadaan bahaya sehingga diperlukan evakuasi? Bagaimana pula pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di era milenial ini dijalankan? Dan apakah dunia kerja dan industri membutuhkan bahasa dan sastra Indonesia?

 

Syarifudin Yunus, akademisi dan dosen Bahasa dan Sastra Indonesia Unindra menegaskan bahwa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia tidak akan mengalami masalah bila orientasi belajarnya berbasis pada kompetensi dan pola belajar yang sesuai standar keilmuan. Maka upaya menata kembali pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di era milenial penting dilakukan.

"Saat ini pendidikan bahasa dan sastra Indonesia harus berbasis kompetensi. Agar dunia kerja dan industri bisa menyerapnya" ujar Syarifudin Yunus di sela acara.

 

Lain halnya dengan Agus Noor. Ia menyampaikan bahwa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia harus bersifat terapan. “Karena di luar sana banyak profesi yang berhubungan dengan ilmu bahasa tapi justru diisi oleh bukan orang bahasa. Inilah tantangan terbesar pendidikan bahasa dan sastra,” tuturnya memberikan alasan.

 

Sementara dalam konteks yang lebih makro, Afrizal Malna menyatakan pendidikan secara umum termasuk bahasa dan sastra Indonesia hari ini sepertinya terjebak pada "cara berpikir tunggal" yang senantiasa menyatakan bahwa saya benar dan dia salah. “Justru cara berpikir inilah yang harus dibenahi. Tentu untuk memberdayakan pendidikan dan kemampuan bahasa dan sastra Indonesia secara lebih komprehensif,” ujar Afrizal.

 

Berangkat dari realitas yang ada, kata Syarifudin, sepertinya pendidikan bahasa dan sastra Indonesia akan berhadapan dengan istilah "evakuasi". “Bahasa dan Sastra Indonesia, patut dievakuasi bila praktik pendidikan bahasa dan sastra hanya sebatas simbol pembelajaran tanpa mengedepankan kemampuan ilmiah dalam mempelajari bahasa, plus tidak bertumpu pada kompetensi berbahasa yang sarat dengan cara pikir dan perilaku ilmiah,” paparnya.

 

Sebaliknya, pendidikan bahasa dan sastra Indonesia sama sekali tidak bituh dievakuasi bila proses pembelajaran yang ada mampu menghasilkan orang-orang yang memang piawai dan mampu menjadi solusi berbahasa yang berkembang di masyarakat. “Karena berbahasa, sangat bergantung pada sikap orang yang belajar dan mempelajarinya. Bila sikapnya meremehkan maka remehlah bahasa. Bila sikapnya menjunjung tinggi maka mulialah bahasanya,” ujarnya.

 

Diskusi itu menegaskan, ke depan, suka tidak suka, Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai disiplin ilmu adalah tidak terbantahkan. Namun dalam realisasi belajarnya, ada segudang agenda yang tetap harus dibenahi. “Hal itu penting agar pendidikan bahasa dan sastra Indonesia bisa lebih berdaya guna, dan lebih penting lagi menjadi alat komunikasi yang sangkil dan mangkus,” ujar Syarifudin Yunus.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement