REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG – Program studi ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (FH Unsri), Sabtu (28/7) meluluskan Suharyono sebagai doktor ke-37 pada Program S 3 Ilmu Hukum. Dalam sidang terbuka yang dipimpin Dekan FH Febrian, Suharyono dinyatakan lulus dengan nilai sangat memuaskan.
Suharyono yang juga mantan Direktur LBH Palembang berhasil mempertahankan disertasinya pada sidang terbuka di Fakultas Hukum Unsri dengan penguji Ida Nurlinda guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad), Joni Emirzon guru besar FH Unsri, Zen Zanibar, Ridwan dan Happy Warsito ketiganya dosen program studi Ilmu Hukum Unsri.
Dengan promotor Amzulian Rifai guru besar FH Unsri yang juga Ketua Komisi Ombudsman dan co-promotor Firman Muntaco, Suharyono mempertahankan disertasi berjudul “Sistem Publikasi Positif Terbatas dalam Pendaftaran Tanah untuk Mewujudkan Kepastian dan Perlindungan Hukum yang Berkeadilan.”
Menurut Suharyono, diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dalam penerapannya, telah menimbulkan keresahan bahkan konflik di tengah masyarakat. “Kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam sistem hukum agraria nasional Indonesia yang mengusung sistem publikasi negatif berunsur positif dalam PP No.24 tahun 1997 yang mengusung belum dapat diwujudkan,” katanya.
Dari hasil kajiannya, menurut Suharyono yang kini berprofesi sebagai advokat, kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam sistem hukum agraria nasional disebabkan tiga masalah utama. Yaitu pada tataran filosofis, tataran normatif yuridis dan tataran sosiologis.
“Pada tataran sosiologis, kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam sistem publikasi negatif berunsur positif yang dipraktikkan PP No.24 tahun 1997 telah menimbulkan keresahan bahkan konflik di tengah masyarakat,” ungkapnya.
Pada tataran normatif yuridis, Suharyono menyatakan, kepastian hukum dan perlindungan hukum PP No.24 tahun 1997 tidak sejalan bahkan bertentangan dengan nilai kepastian hukum dan perlindungan yang adil sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD 1945.
Suharyono memberi contoh ketidakpastian hukum pada PP No.24 tahun 1997, sistem penormaan pada pasal 3 dan 4 bersifat imperatif, sedangkan pada pasal 32 ayat (2) PP tersebut justru bersifat terbuka.
Usai ujian terbuka, Suharyono menjelaskan, jika ada seseorang sudah memiliki sertifikat atas tanahnya yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional atau BPN, tetapi dengan PP ini memberikan kesempatan pihak lain untuk membuktikan bahwa dialah pemilik tanah sebenar. "Akibatnya terjadi sengketa hukum yang harus diselesaikan di pengadilan atas tanah tersebut,” ucapnya.
Sementara itu, berdasarkan norma tanggung jawab terhadap pejabat BPN yang melakukan kesalahan dalam pendaftaran tanah, tidak diatur. Manakala sertifikat atas hak tanah tersebut dibatalkan atau dinyatakan tidak sah oleh pengadilan, maka pejabat BPN atau Kepala Kantor Pertanahan yang telah membuat sertifikat tidak bertanggungjawab. "Berdasarkan PP No.24 tahun 1997, pejabat BPN yang melakukan kesalahan saat pendaftaran tanah tidak dikenakan sanksi apapun,” ujarnya.